Minggu, 28 Juli 2013

10 Ikan Raksasa Air Tawar Yang Terancam Punah Di Dunia

Ini adalah 10 ikan air tawar raksasa yang terancam punah di seluruh dunia dan populasinya kian hari kian menyusut akibat perburuhan dan ulah pihak yang tak bertanggung jawab.

10. Dog Eating Catfish:
Jaman dulu ikan ini dipancing orang dengan menggunakan daging anjing karenanya namanya “Dog Eating Catfish”
9. Giant Carp:
Dulu ikan ini banyak ditemukan di sungai mae klong, thailand (sungai mekong) tapi ikan berbobot 600 pon ini adalah salah satu ikan yang hilang begitu cepat di Asia Tenggara.
8. White Sturgeon:
Ikan ini hidup lebih lama dari dinosaurus dan sudah sulit untuk bertahan hidup di populasi yang berada di laut pasifik bagian barat daya dan di Kanada.
7. Freshwater Sawfish:
Ikan ini sering disebut campuran antara ikan hiu dan gergaji. Ikan ini terancam punah karena seringkali moncongnya yang berbentuk gergaji itu tersangkut di jaring nelayan
6. Giant Stingray:
Ikan pari-pari ini adalah salah satu ikan air tawar yang terbesar dan paling berbahaya yang pernah ada. Walaupun begitu, ikan ini mudah dilatih seperti anjing laut dan lumba-lumba
5. Pirarucu:
Ikan amazon ini adalah salah satu ikan air tawar yang terbesar yang pernah ada! ada di Seaworld Ancol deh kalo ga salah
4. Mekong Giant Catfish:
Walaupun pernah dijuluki ikan terbesar air tawar yang pernah ada, ikan ini terlihat seperti sedih setiap saat. Mungkin karena populasinya menurun hingga 90% !
3. Bagarius Yarrelli:
Sering juga disebut “River Yeti” atau yeti yang berada di sungai.
Ikan ini diceritakan oleh warga sekitar pernah memakan manusia!
2. Alligator Gar:
Terkadang dipanggil “ikan terjelek di amerika utara” ikan ini seperti buaya dengan ekor ikan. ikan ini hanya memakan ikan lain yang besarnya sebesar mulutnya sendiri. Di Februari 2007 ikan ini ditemukan di dekat wilayah Jakarta sebesar 1.5m setelah Jakarta terkena banjir (menurut wikipedia), ternyata ikan juga pilih-pilih makanan kayak anak kecil
1. Chinese Paddlefish:
Ikan ini dulu dijuluki “Raja Sungai Yangtze” sayangnya ikan ini sangat sulit untuk ditemukan sehingga diperkirakan sudah punah.
10 IKAN HIAS TERCANTIK

jika anda hobi ikan hias saya rasa sebagian dari nama ikan hias tercantik di dunia ini mungkin sudah anda kenal. Namun bagi anda yang tidak menyukai ikan hias dari daftar nama ikan dibawah ini hanya ikan biasa yang seakan tidak begitu berharga. Soal harga bagi dari jenis ikan hias ini sudah tidak perlu ditanyakan lagi karena sudah pasti sangat mahal.

Ikan-ikan ini termasuk dari bagian ikan hias primadona bagi para pencinta dan pemelihara ikan hias. Dari salah satu daftar ikan yang ada termasuk ikan langka yang tidak ditemukan di Indonesia, sehingga untuk memilikinya btentu saja harus mengeluarkan kocek yang tidak sedikit.

Untuk mengetahui lebih jelas mengenai nama-nama dan jenis ikan yang paling banyak dicari dan diminati pencinta ikan hias dan merupakan ikan hias tercantik dan termasuk jajaran ikan hias termahal didunia.

Silahkan anda perhatikan  gambar ikan dibawah ini, mana kira-kira yang rmasuk ikan terindah, terbagus  dari 10 dafta nama dan jenis ikan hias  dibawah ini menurut anda:

Ikan ini disebut juga Zebrafish. Tulang belakangnya itu memiliki racun yg sangat menyakitkan dan cukup efektif. Orang yg memeliharanya pastinya harus ati2 kalo mo membersihkan akuariumnya




ikan ini tergolong dalam family Surgeonfish, yg memiliki pisau kecil dari zat kapur yg dapat disembunyikan di depan sirip ekornya. Pisau kecil ini digunakan terutama untuk sistem pertahanan dalam menghadapi predator.



Ikan ini tergolong dalam Angelfish. Ikan2 ini bisa disimpan dalam akuarium2 rumahan dan dapat bertahan hidup dengan baik di dalam habitatnya (hardy)

Ikan ini memikiki hubungan dekat dengan Coral Beauty. Sifatnya sama seperti Coral Beauty, tapi sifatnya tidak ‘seteguh’ Coral Beauty.



Ada 2 varietas dari spesies ini: Mandarinfish standar dan Psychedelic Mandarin. Yang standar biasanya memiliki pola dan warna yg lebih bagus dibanding Psychedelic. Harganya ga lebih dari $20 per ekor, tapi yg jadi masalah adalah makanannya.




Dinamakan demikian karena bentuk mulutnya yg mirip paruh burung. Ikan ini menggunakan mulutnya yg seperti paruh itu untuk memecah dan memakan invertebrata kecil yg hidup di daerah koral. Biasanya mereka akan memakan utuh2 bebatuan koral atau pasir2 laut lalu mengunyah invertebrata yg ada di dalamnya, lalu membuang sisa2nya.

QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM NOMOR 16 TAHUN 2002 TENTANG PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

BISMILLAHIRRAHMANIRRAHIM

DENGAN RAHMAT ALLAH YANG MAHA KUASA
GUBERNUR PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM,

Menimbang :
a.    bahwa Sumber Daya Kelautan dan Perikanan merupakan anugerah Allah yang Maha Kuasa, yang mempunyai fungsi dan peranan penting bagi kehidupan manusia dan pembangunan daerah;
b.    bahwa melalui pemanfaatan secara bijaksana, bertanggungjawab, adil, partisipatif dan berkelanjutan sumber daya. Kelautan dan Perikanan dapat digunakan untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang sebesar-besarnya percepatan pembangunan daerah, dan kelangsungan hidup makhluk hidup lainnya;
c.    bahwa peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai sumber daya kelautan dan perikanan yang sudah ada tidak lagi sesuai dengan jiwa dan semangat otonomi khusus dan keistimewaan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;
d.    bahwa atas dasar hal-hal yang disebutkan di atas, dipandang perlu untuk menetapkan Pengelolaan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan dalam suatu Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam;

Mengingat :
1.    Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 tentang Pembentukan Propinsi Daerah Istimewa Aceh dan Perubahan Peraturan Pembentukan Propinsi Sumatera. Utara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1956 Nomor 64, Tambahan Lembaran Negara 1103);
2.    Undang-undang Nomor 9 Tahun 1985 Tentang Perikanan (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1985 Nomor 46, Tambahan Lembaran Negara. Nomor 3299);
3.    Undang-undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya. Alam Hayati dan Ekosistemnya (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1990 Nomor 49, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3419);
4.    Undang-undang Nomor 21 Tahun 1992 Tentang Pelayaran (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1992 Nomor 98, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3494);
5.    Undang-undang Nomor 6 Tahun 1996 Perairan Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1996 Nomor 73, Tambahan Lembaran Negara 3647);
6.    Undang-undang Nomor 23 Tahun 1997 Tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 68, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3538);
7.    Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 60, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3839);
8.    Undang-undang Nomor 25 Tahun 1999 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848);
9.    Undang-undang Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Penyelenggaraan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 72, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3893);
10.    Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus Bagi Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2001 Nomor 114, Tambahan Lembaran Negara Nomor 4134);
11.    Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999 Tentang Pengendalian Pencemaran dan/atau Perusakan Laut (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 32, Tambahan Lembaran Negara Nomor 31, 16);
12.    Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1999 Tentang Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 59, Tambahan Lembaran. Negara Nomor 3838);
13.    Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan Pemerintah dan Kewenangan Propinsi sebagai Daerah Otonom (Lembaran Negara Tahun 2000 Nomor 54, Tambahan Lembaran Negara Nomor 3952);
14.    Keputusan Presiden Nomor 44 Tahun 1999 Tentang Teknik Penyusunan peraturan Perundang-undangan dan Bentuk Rancangan Undang-undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Keputusan Presiden (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor 70);
15.    Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 2 Tahun 1990 Tentang Pembinaan dan Pengembangan Adat Istiadat, Kebiasaan-kebiasaan Masyarakat Beserta Lembaga Adat di Propinsi Daerah Istimewa Aceh (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 1991 Nomor 13);
16.    Peraturan Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Nomor 14 Tahun 2001 Tentang Susunan Organisasi dan Tata Kerja Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (Lembaran Daerah Propinsi Daerah Istimewa Aceh Tahun 2001 Nomor 43).


Dengan persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
MEMUTUSKAN :
Menetapkan : QANUN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Qanun ini, yang dimaksud dengan:
1.    Pemerintah Pusat, selanjutnya disebut pemerintah adalah perangkat Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas Presiden beserta para Menteri.
2.    Propinsi adalah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
3.    Pemerintah Provinsi adalah Gubernur beserta Perangkat Daerah Otonom yang lain sebagai Badan Eksekutif Provinsi Nanggroe Darussalam.
4.    Dewan Perwakilan Rakyat Daerah adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
5.    Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam adalah Peraturan Daerah sebagai pelaksanaan Undang-Undang di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam rangka Otonomi khusus.
6.    Kelautan adalah wilayah usaha untuk memanfaatkan sumberdaya kelautan.
7.    Sumber daya kelautan adalah segala unsur kelautan yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan manusia, mencakup sumber daya energi kelautan, sumber daya hayati kelautan, sumber daya nonhayati lainnya.
8.    Jasa-jasa lingkungan kelautan adalah sesuatu yang dihasilkan dan/atau dapat dimanfaatkan di wilayah laut yang meliputi antara lain, transportasi laut, industri maritim, wisata bahari dan meteorologi maritim.
9.    Perikanan adalah semua kegiatan yang berhubungan dengan pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya hayati perairan laut maupun darat.
10.    Sumber daya ikan adalah sembedaya hayati perairan mencakup segala jenis hewan dan tumbuhan perairan serta makhluk hidup lainnya.
11.    Penangkapan ikan adalah kegiatan yang bertujuan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak- dalam keadaan dibudidayakan dengan alat dan cara yang tidak merusak ekosistem.
12.    Kapal penangkap ikan adalah setiap kapal, tongkang, perahu atau kendaraan air lainnya yang dipakai untuk penangkapan ikan atau kegiatan yang terkait yang dilengkapi dengan peralatan, tempat penyimpanan dan muatan serta persediaan bahan bakar di atas kapal.
13.    Usaha perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan hukum untuk menangkap atau membudidayakan ikan, menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial.
14.    Perusahaan perikanan adalah perusahaan yang melakukan usaha perikanan dan dilakukan oleh warga negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia.
15.    Usaha penangkapan ikan adalah kegiatan untuk memperoleh ikan di perairan yang tidak dalam keadaan dibudidayakan dengan alat atau teknologi tertentu untuk tujuan komersial.
16.    Usaha pembudidayaan ikan adalah kegiatan memelihara, membesarkan dan/atau membiakkan ikan dan memanen hasilnya dengan alat atau cara apapun, termasuk kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkannya untuk tujuan komersial.
17.    Perijinan usaha perikanan adalah jenis-jenis perijinan yang harus dimiliki oleh perorangan/badan hukum untuk dapat melakukan kegiatan penangkapan ikan, pengangkutan ikan,pembudidayaan ikan, pengolahan ikan, dan perdagangan ikan.
18.    Perajinan pemanfaatan sumber daya dan jasa lingkungan kelautan adalah jenis-jenis perijinan yang harus dimiliki oleh perorangan/badan hukum untuk dapat melakukan pemanfaatan sumber daya dan jasa lingkungan kelautan.
19.    Pelabuhan perikanan adalah prasarana perikanan, tempat pelayanan umum bagi masyarakat nelayan dan usaha perikanan, sebagai pusat pembinaan dan peningkatan kegiatan ekonomi perikanan, untuk digunakan sebagai pangkalan operasional, tempat berlabuh, bertambat, mendaratkan hasil penangkapan, pengolahan distribusi dan pemasaran hasil perikanan.
20.    Jumlah yang boleh ditangkap adalah optimum jumlah ikan dar i masing-masing jenis atau kelompokkelompok jenis yang boleh ditangkap setiap tahun, atau selama masa lainnya yang mungkin ditentukan, untuk kegiatan penangkapan ikan.
21.    Jumlah usaha penangkapan Ikan adalah jumlah optimum kapal penangkapan ikan beserta tipe, ukuran dan kekuatan mesinnya, alat tangkap serta metodenya yang diizinkan untuk beroperasi menangkap jenis-jenis ikan atau kelompok-kelompok jenis ikan tertentu di perairan.
22.    Nelayan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan.
23.    Pembudidaya ikan adalah orang yang mata pencahariannya melakukan kegiatan budidaya ikan, baik di perairan tawar, payau maupun di perairan pantai.
24.    Nelayan tradisional adalah nelayan yang menggantungkan seluruh hidupnya dari kegiatan penangkapan ikan, dilakukan secara turun temurun dengan menggunakan alat tangkap yang sederhana.
25.    Pengelolaan perikanan adalah suatu proses yang terintegrasi mulai dari pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pengambilan keputusan, alokasi sumber dan impelementasinya (dengan enfor cement jika diperlukan), dalam upaya menjamin kelangsungan produktivitas serta pencapaian tujuan pengelolaan.
26.    Pemanfaatan sumber daya ikan adalah kegiatan penangkapan ikan dan/atau pembudidayaan ikan.

BAB II
YURISDIKSI PERAIRAN LAUT

Pasal 2

(1)    Perairan laut teritorial yang terdapat dalam wilayah administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sejauh 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas.
(2)    Pengelolaan wilayah perairan laut teritorial sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan menjadi kewenangan Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Kabupaten/Kota berdasarkan undang-undang yang berlaku.

Pasal 3

(1)    Wewenang Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 4 (empat) mil laut sampai 12 mil laut yang diukur dari garis pangkal ke arah laut lepas.
(2)    Wewenang Pemerintah kabupaten/Kota dalam pengelolaan wilayah laut sebagaimana disebutkan dalam Pasal 2 adalah atas wilayah laut dalam jarak 0 (nol) sampai 4 (empat) mil laut yang diukur dari garis pangkal.

Pasal 4

Kewenangan Pemerintah Provinsi dan Pemerintah Kabupaten /Kota dalam pengelolaan wilayah laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dalam jarak batas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a.    eksplorasi, eksploitasi, konservasi, dan manajemen sumber daya kelautan dan perikanan di wilayahnya;
b.    penyusunan dan penetapan rencana tata ruang;
c.    penegakan hukum daerah dalam bidang pengelolaan sumberdaya Kelautan dan perikanan;
d.    pelakukan kerjasama interregional dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan jasa lingkungan;
e.    pemberikan izin usaha perikanan dan Surat izin berlayar yang berkaitan dengan pemanfaatan sumberdaya kelautan dan jasa lingkungan kelautan;
f.    pengutipan retribusi badan usaha, kelompok atau masyarakat, atau individu yang memanfaatkan sumberdaya laut dan jasa lingkungan laut;
Pasal 5

Penetapan batas wilayah perairan laut yang menjadi yurisdiksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dengan Propinsi Sumatera Utara diatur lebih lanjut dengan Keputusan Bersama Gubernur dengan Gubernur Provinsi Sumatra Utara.
Pasal 6

Penetapan batas wilayah perairan Kabupaten/Kota dalam Provinsi diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur berdasarkan pada hasil kesepakatan antara Bupati/Walikota.

BAB III
PENATAAN RUANG LAUT

Pasal 7

(1)    Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam berwenang melakukan penyusunan dan penetapan tata ruang perairan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2)    Penyusunan dan penetapan tata ruang perairan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(3)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Qanun.

BAB IV
PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN

Pasal 8

(1)    Pemanfaatan sumber daya kelautan yang terdapat di wilayah perairan laut yurisdiksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam oleh setiap orang, kelompok orang, atau badan usaha berdasarkan izin yang dikeluarkan oleh Pemerintah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
(2)    Mekanisme dan tata cara pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan kelautan sebagaimana dimaksudkan dalam ayat (1) diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur.
(3)    Setiap orang atau bada hukum yang melakukan usahanya dengan memanfaatkan sumberdaya dan jasa kelautan di dalam wilayah yurisdiksi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam al:an dikenakan retribusi dan/atau pungutan.
(4)    Pungutan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) diatur melalui keputusan Gubernur.


BAB V
PENGELOLAAN SUMBER DAYA PERIKANAN

Pasal 9

(1)    Dalam pengelolaan di bidang Perikanan, Pemerintah Provinsi mengeluarkan ketentuan yang mengatur tentang:
a.    alat-alat penangkap ikan;
b.    persyaratan, teknis perikanan yang harus dipenuhi oleh kapal penangkap ikan dengan tidak mengurangi ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai keselamatan pelayaran;
c.    jumlah, jenis serta ukuran ikan yang tidak boleh ditangkap;
d.    daerah, jalur dan waktu musim penangkapan;
e.    pencegahan pencemaran dan kerusakan, rehabilitasi dan peningkatan sumber daya ikan serta lingkungannya;
f.    penebaran ikan jenis baru;
g.    pembudidayaan ikan dan perlindungannya;
h.    pencegahan dan pemberantasan hama serta penyakit ikan;
i.    hal-hal lain yang dianggap perlu untuk mencapai tujuan pengelolaan sumber daya ikan.
(2)    Usaha perikanan di wilayah perairan laut yurisdiksi Pemerintah Provinsi hanya boleh dilakukan oleh warga Negara Republik Indonesia atau badan hukum Indonesia yang berkedudukan di wilayah Provinsi.

Pasal 10

(1)    Setiap orang atau sekelompok orang atau badan hukum yang melakukan usaha perikanan diwajibka.n memiliki izin usaha perikanan.
(2)    Nelayan tradisional dan pembudidaya ikan berskala kecil atau perorangan lainnya yang sifat usahanya merupakan mata pencaharian untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari tidak dikenakan kewajiban memiliki izin usaha perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
(3)    Pelaksanaan ketentuan perolehan izin usaha perikanan diatur dalam Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tentang Izin Usaha Perikanan.

Pasal 11

(1)    Dalam pengelolaan, sumber daya perikanan Pemerintah Provinsi mengakui keberadaan lembaga Panglima Laot dan hukum adat laot yang telah ada dan eksis dalam kehidupan masyarakat, nelayan di Provinsi.
(2) Sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas dilaksanakan dengan memberdayakan peran, fungsi dan kewenangannya dalam komunitas masyarakat nelayan.


BAB VI
PEMBINAAN DAN PENGEMBANGAN

Pasal 12

(1)    Pembinaan sumber daya kelautan dan perikanan dalam wilayah laut yurisdiksi Provinsi ditujukan kepada tercapainya manfaat yang sebesar-besarnya bagi masyarakat , terutama masyarakat nelayan Provinsi, dan akselerasi pembangunan daerah Provinsi.
(2)    Untuk mencapai tujuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Provinsi melaksanakan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan dengan melestarikan sumber daya kelautan dan sumber daya kelautan dan perikanan bagi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia di Provinsi.

Pasal 13

Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pembinaan sistem informasi dan menyelenggarakan dokumentasi mengenai data sumber daya kelautan dan perikanan guna menunjang pengelolaan dan pemanfaatannya.

Pasal 14

(1)    Pemerintah Provinsi membina dan mengembangkan penelitian dan kegiatan ilmiah lainnya di bidang kelautan dan perikanan.
(2)    Dalam menyelenggarakan kegiatan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Provinsi dapat melakukan kerja sama dengan perguruan tinggi, lembaga swasta nasional, internasional atau lembaga asing serta sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pasal 15

Pemerintah Provinsi menyelenggarakan pendidikan, latihan, penyuluhan dan Bimbingan dalam bidang kelautan dan perikanan dengan melibatkan pihak-pihak yang berkepentingan terhadap pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan.

Pasal 16

Pemerintah Provinsi mendorong, menggerakkan, membantu, memberdayakan dan melindungi usaha perikanan tradisional dan melindungi pembudidaya ikan berskala keci l, terutama melalui koperasi, lembaga adat , dan bentuk pemberdayaan ekonomi dan nelayan lainnya.


Pasal 17

(1)    Pemerintah Provinsi membangun dan membina prasarana perikanan.
(2)    Pemerintah Provinsi membina dan memberikan akses terciptanya kelancaran tata niaga perikanan serta meningkatkan kualitas hasil kelautan dan perikanan.
(3)    Pelaksanaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan (2) ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur.

BAB VII
KONSERVASI SUMBER DAYA KELAUTAN DAN
PERIKANAN

Pasal 18

(1)    Setiap orang atau sekelompok orang dan/atau badan usaha yang melakukan usaha dan/atau kegiatan eksplorasi dan eksploitasi sumber daya kelautan dan perikanan wajib memperhatikan wilayah konservasi yang telah ditetapkan.
(2)    Wilayah konservasi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ditetapkan atas. dasar rencana tata ruang laut dan kondisi potensi kelautan dan perikanan.
(3)    Pelaksanaan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 19

(1)    Penyelenggaraan konservasi sumber daya kelautan dan perikanan melibatkan pula partisipasi aktif masyarakat nelayan dan pihak terkait lainnya.
(2)    Konservasi dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan perikanan beserta ekosistemnya dilandaskan pada prinsip perlindungan, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara serasi, seimbang dan berkelanjutan.
(3)    Untuk kepentingan menunjang konservasi dan rehabilitasi sumber daya kelautan dan perikanan beserta ekosistemnya, Pemerintah Provinsi dapat menyediakan dana untuk kepentingan konservasi dan rehabilitasi.
(4)    Pelaksanaan dan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 20

(1)    Setiap orang atau bahan hukum dilarang melakukan kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan alat atau bahan yang dapat membahayakan kelestarian lingkungan, sumber daya perikanan dan sumberdaya kelautan.
(2)    Kegiatan penangkapan dan pembudidayaan ikan dengan menggunakan bahan dan/atau alat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) untuk kepentingan ilmiah dan kepentingan tertentu lainnya diatur dengan Keputusan Gubernur.

Pasal 21

(1)    Setiap orang atau badan hukum dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan pencemaran dan kerusakan sumber daya kelautan, sumber daya ikan dan/atau lingkungannya.
(2)    Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku sepanjang mengenai perbuatan yang dilakukan untuk kepentingan kegiatan penelitian ilmiah yang diatur dengan peraturan perundangan-undangan yang berlaku.


Pasal 22

(1)    Untuk kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan atau pelestarian alam perairan, Pemerintah Provinsi menetapkan jenis ikan tertentu yang dilindungi dan/atau lokasi perairan tertentu sebagai suaka perikanan berdasarkan ciri khas jenis ikan atau keadaan alam perairan termaksud.
(2)    Dalam pengaturan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Provinsi dapat menetapkan pembatasan terhadap kegiatan penangkapan atau pembudidayaan ikan dan kegiatan lainnya di lokasi tersebut.

BAB VIII
PENGAWASAN DAN PENGENDALIAN

Pasal 23

(1)    Pemerintah Provinsi berkewajiban melakukan pengawasan dan pengendalian terhadap pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah Provinsi.
(2)    Untuk menjamin terselenggaranya Pengawasan dan Pengendalian Sumber Daya Kelautan dan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) di atas, Pemerintah Provinsi dapat membentuk Tim Pengawasan dan Pengendalian dengan melibatkan partisipasi masyarakat.
(3)    Pembentukan Tim Pengawas dan Pengendalian sebagaimana dimaksud dalam. ayat (2) ditetapkan dengan Surat Keputusan Gubernur.



BAB IX
KETENTUAN FIDANA

Pasal 24

(1)    Setiap orang, kelompok orang, dan pemilik badan hukum yang karena kelalaiannya melanggar ketentuan Qanun ini diancam dengan pidana kurungan sesuai dengan ketentuan Undang-undang.
(2)    Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah pelanggaran.
(3)    Akibat kelalaian sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) yang menimbulkan kerugian dalam kehidupan masyarakat wajib memberikan kompensasi.

BAB X
PENYIDIKAN

Pasal 25

(1)    Pejabat Aparatur Penegak Hukum yang berwenang melaksanakan penyidikan terhadap pelanggaran tindak, pidana sebagaimana dimaksud dalam Qanun ini dilakukan oleh Perwira Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut (TNI-AL) yang ditunjuk oleh Panglima TNI dan Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) pada bidang perikanan di Wilayah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
(2)    Dalam melaksanakan tugas penyidikan, oleh Para Pejabat Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal ini berwenang :
a.    menerima laporan atau pengaduan dari seseorang tentang adanya tindak pidana;
b.    melakukan penyidikan ditempat kejadian dan melakukan pemeriksaan.
c.    menyuruh berhenti seseorang tersangka dan memeriksa pengenal diri tersangka;
d.    melakukan pernyataan benda atau Surat;
e.    mengambil sidik jari dan memotret seseorang;
f.    mendatangkan saksi ahli yang diperlukan dalam hubungan dengan pemeriksaan;
g.    menghentikan penyidikan setelah mendapat petunjuk dari penyidik umum bahwa tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut bukan merupakan tindak pidana dan selanjutnya melalui Pejabat Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) memberitahukan hal tersebut kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya;
h.    mengadakan tindakan menurut hukum yang dapat mempertanggung jawabkan.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 26

(1)    Pada saat berlakunya Qanun ini, maka segala ketentuan yang ada masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Qanun ini.
(2)    Hal-hal yang belum diatur dalam Qanun ini sepanjang mengenai pelaksanaannya akan diatur lebih lanjut dengan Keputusan Gubernur

Pasal 27

Qanun ini berlaku sejak tanggal diundangkan. Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Qanun ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam

Disahkan di Banda Aceh
pada tanggal 14 Oktober 2002
7 Sya'ban 1423
GUBERNUR
PROVINSI NANGGROE ACEHDARUSSALAM
ABDULLAH PUTEH

Diundangkan di Banda Aceh
pada tanggal 15 Oktober 2002
8 Sya'ban 1423
SEKRETARIS DAERAH
PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
THANTHAWI ISHAK


LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM TAHUN 2002 NOMOR 59 SERI E NOMOR 8

PENJELASAN
QANUN PROPINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
NOMOR 16 TAHUN 2002
TENTANG
PENGELOLAAN SUMBER DAYA KELAUTAN DAN PERIKANAN

I.    UMUM
Berlakunya Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2000 Tentang Kewenangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah, Kabupaten/Kota, Berta Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi Khusus bagi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-undang Nomor 44 Tahun 2000 Tentang Pelaksanaan Keistimewaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, maka Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Sagoe/Banda dalam Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam diberikan otoritas (kewenangan) untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan dalam jarak 12 mil laut yang diukur dari garis pantai ke arah laut lepas dan/atau ke arah perairan. kepulauan. Kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam untuk mengatur dan menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan adalah pada wilayah perairan laut dalam jarak 4 (empat) sampai
12 mil laut, sedangkan Pemerintah Daerah Sagoe/Banda berwenang mengatur dan menyelenggarakan urusan di bidang kelautan dan perikanan dalam jarak sampai 4 (empat) mil laut yang diukur dari pantai.

Penyerahan otoritas (kewenangan) di bidang kelautan dan perikanan kepada Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Daerah Sagoe/Banda haruslah dipahami bukan sebagai penyerahan kepemilikan wilayah perairan laut, melainkan penyerahan otoritas pengelolaan semata dalam kerangka otonomi daerah. Oleh karma itu, pembagian wilayah kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Daerah Sagoe/Banda atas wilayah perairan taut dalam jarak 12 mil laut yang diukur dari pantai tidak dipahami sebagai pembagian kepemilikan atas wilayah perairan laut dalam jarak yang telah disebutkan di atas, melainkan hanya pembagian otoritas dalam pengelolaan urusan di bidang kelautan dan perikanan.
Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 menentukan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ketentuan ini merupakan landasan konstitusional dan sekaligus arah bagi pengaturan berbagai hal yang berkaitan dengan sumber daya kelautan dan perikanan. Berdasarkan ketentuan Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 tersebut secara tegas diinginkan bahwa pelaksanaan penguasaan negara atas sumber daya kelautan dan perikanan diarahkan pada tercapainya manfaat sebesarbesarnya bagi kemakmuran rakyat. Dalam konteks otonomi daerah di bidang kelautan dan perikanan Pemerintah Daerah yang diserahi kewenangan melakukan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perairan laut yurisdiksinya, menempatkan kemakmuran rakyat sebagai arah dan tujuan yang hendak dicapai, terutama kemakmuran masyarakat nelayan di daerahnya.
Dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan tersebut harus mampu diwujudkan keadilan dan pemerataan, termasuk memperbaiki kehidupan nelayan tradisional (kecil) dan petani ikan kecil serta pemajuan desa-desa pantai. Dari sisi pembangunan daerah, penyerahan otoritas di bidang kelautan dan perikanan itu dimaksudkan agar pembangunan daerah dapat dilaksanakan dalam waktu relatif cepat. Akselerasi pembangunan daerah dalam waktu relatif cepat berarti kesejahteraan rakyat yang diamanatkan dalam. Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 terwujud pula dalam realitas. Tujuan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan adalah juga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyat, khususnya nelayan dan petani ikan beserta keluarganya, yang juga merupakan tujuan dari pembangunan daerah. Dalam pencapaian tujuan tersebut, pengelolaan sumber daya kelautan dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut:
1.    Pemanfaatan secara optimal sumber daya dan jasa lingkungan kelautan, dan perikanan dan menjamin pengembangan ekologinya secara berkelanjutan;
2.    Melakukan konservasi sumber daya dan jasa lingkungan kelautan dan perikanan untuk kepentingan generasi sekarang dan masa depan;
3.    Menggunakan "pendekatan hati-hati" (precautionary upprouches) dalam manajemen dan pengembangan sumber daya dan jasa lingkungan kelautan, dan perikanan;
4.    Perlu menjaga ekosistem secara ekosistem secara keseluruhan, termasuk jenis ikan yang tidak ditargetkan untuk dieksploitasi;
5.    Perlu melestarikan keanekaragaman kehidupan laut;
6.    Perlu mempergunakan sumber daya dan jasa lingkungan kelautan dan perikanan untuk mencapai pertumbuhan ekonomi, pengembangan sumber daya manusia, penciptaan lapangan kerja dan keseimbangan ekologi yang mantap yang sesuai dengan objektif pembangunan daerah;
7.    Menempatkan lembaga adat laut dan masyarakat secara luas dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan;
8.    Memberikan prioritas bagi pelaku lokal dalam pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan. Pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dilakukan oleh Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pemerintah Sagoe/Banda bekerja sama dengan lembaga adat laut dan masyarakat. Penempatan peinerintali bersama lembaga adat laut dan masyarakat dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan mempertegas dan memperjelas arah pengelolaan yang akan dilakukan, yakni pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan yang berbasis pada masyarakat (community based management) sebagaimana diintroduksikan oleh Undang-undang Nomor 22 Tahun 1 x'99 di bidang otonomi kelautan dan perikanan. Ruang lingkup pengelolaan yang diatur dalam Qanun ini mencakup pengelolaan sumber daya kelautan, jasa-jasa lingkungan kelautan, dan perikanan (baik perikanan laut maupun perikanan darat), dan daerah pesisir pantai. Oleh karma itu, obyek pengaturan Qanun ini meliputi somber daya kelautan, jasa-jasa lingkungan kelautan, dan perikanan (baik perikanan laut maupun perikanan darat) daerah pesisir pantai. Berdasarkan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang berkedudukan sebagai lex specialis derogat legi generalis atas UU No. 22/1999, dan karateristik sumber daya kelautan dan perikanan, maka Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam memiliki otoritas sentral dalam pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan di wilayah perai ran laut yur i sdiksinya, dengan tetap mempertimbangkan otorita,,,, Pemerintah Daerah Sagoe/Banda. Alas dasar itu, kewenangan untuk melakukan pemungutan retribusi dan/atau pungutan dalam perikanan tangkap dan pemanfaatan sumber daya dan jasa-jasa lingkungan kelautan menjadi kewenangan Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, yang hasilnya dilakukan pembagian dengan Pemerintah Daerah Sagoe/Banda atas dasar perimbangan 66,7 persen berbanding 33,3 persen. Dalam kaftan ini pula, Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam harus dilibatkan dalam pelaksanaan kewenangan Pemerintah Pusat di bidang pemanfaatan somber daya kelautan dan perikanan yang terdapat di wilayah perairan laut Zona Ekonomi Ekslusif (ZEE) dalam wilayah administratif Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang diperkirakan seluas kira-kira 238.807 kilometer persegi.



II.    PASAL DEMI PASAL
Pasal I
Istilah yang dirumuskan dalam pasal ini dimaksudkan untuk keseragaman pengertian yang terkandung dalam Qanun ini atau peraturan perundangundangan lainnya.
Angka 1
Cukup jelas.
Angka 2
Cukup jelas.
Angka 3
Cukup jelas.
Angka 4
Cukup jelas.
Angka 5
Cukup jelas.
Angka 6
Cukup jelas.
Angka 7
Cukup jelas.
Angka 8
Cukup jelas.
Angka 9
Cukup jelas.
Angka 10
Cukup jelas.
Angka 11
Cukup jelas.
Angka 12
Cukup jelas.
Angka 13
Cukup jelas.
Angka 14
Cukup jelas.
Angka 15
Cukup jelas.
Angka 16
Cukup jelas.
Angka 17
Cukup jelas.
Angka 18
Cukup jelas.
Angka 19
Cukup jelas.
Angka 20
Cukup jelas.
Angka 21
Cukup jelas.
Angka 22
Cukup jelas.
Angka 23
Cukup jelas.
Angka 24
Cukup jelas.
Angka 25
Cukup jelas.
Angka 26
Cukup jelas.
Pasal 2
Ayat (1)
Cukup jelas.
Ayat (2)
Undang-undang yang dimaksudkan adalah undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-undang Nomor 18 Tahun 2001 Tentang Otonomi bagi Khusus Propinsi Daerah Istimewa Aceh sebagai Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam.
Pasal 3
Cukup jelas.
Pasal 4
Huruf a
Eksplorasi adalah kegiatan atau usaha penyelidikan dan/atau penelitian terhadap sumber daya alam di wilayah laut dalam upaya memahami potensinya untuk keperluan ilmiah dan perencanaan pemanfaatan; Eksploitasi adalah kegiatan atau usaha pemanfaatan sumber daya alam laut sesuai daya dukung dan daya serap lingkungannya; Konservasi adalah kegiatan yang mencakup perlindungan sistem ekologis, pelestarian dan pemanfaatan sumber daya kelautan dan perikanan secara berkelanjutan; Manajemen sumber daya laut adalah upaya kontrol dari pemerintah daerah terhadap sumber daya laut dalam yurisdiksinya guna mencapai tujuan yang ditetapkan.
Huruf b
Cukup jelas.
Huruf c
kegiatan pelaksanaan peraturan hukum daerah, baik peraturan hukum yang mengatur secara langsung maupun tidak langsung mengenai kelautan dan perikanan secara kongkrit dalam kehidupan masyarakat sehari-hari. Dalam pengertian penegakan hukum daerah ini termasuk pembentukan Tim Penegak hukum Daerah.
Huruf d
Cukup jelas.
Huruf e
Cukup jelas.
Huruf f
Cukup jelas.
Pasal 5
Cukup jelas.
Pasal 6
Cukup jelas.
Pasal 7
Cukup jelas.
Pasal 8
Cukup jelas.
Pasal 9
Ayat (1)
huruf a
Alat penangkap ikan yang digunakan adalah alat penangkap ikan yang ramah lingkungan.
huruf b
Cukup jelas.
huruf c
Dalam rangka membina kelestarian sumber daya ikan diatur tentang jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran yang tidak boleh ditangkap. Penetapan jumlah yang boleh ditangkap dan jenis serta ukuran yang tidak boleh ditangkap ditetapkan Gubernur dengan berkonsultasi dengan Pemerintah Pusat.
huruf d
Cukup jelas.
huruf e
Cukup jelas.
huruf f
Cukup jelas.
huruf g
Cukup jelas.
Huruf i
Cukup jelas.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 10
Cukup jelas:
Pasal 11
Cukup jelas.
Pasal 12
Ayat (1)
perencanaan strategis adalah penetapan visi, misi, tujuan, sasaran, dan kebijakan berkenaan dengan pembangunan sumber daya kelautan dan perikanan dalam wilayah laut yurisdiksi Pemerintah Daerah Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. Perencanaan zonasi adalah perencanaan pengelolaan sumber daya kelautan dan perikanan pada zona yang telah ditetapkan dalam tata ruang wilayah laut.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 13
Cukup jelas.
Pasal 14
Cukup jelas.
Pasal 15
Cukup jelas.
Pasal 16
Cukup jelas.
Pasal 17
Cukup jelas.
Pasal 18
Ayat (1)
Zona proteksi adalah wilayah perairan laut yang telah ditetapkan menjadi kawasan konservasi laut atau yang diusulkan menjadi kawasan konservasi.
Ayat (2)
Zona eksploitasi adalah wilayah perairan laut yang ditetapkan sebagai wilayah pemanfaatan sumber daya dan jasa lingkungan kelautan serta sumber daya ikon yang pemanfaatannya berdasarkan prinsip-prinsip konservasi.
Ayat (3)
Zona tertentu adalah wilayah perairan laut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang ditetapkan untuk kepentingan tertentu, seperti pangkalan armada militer.
Pasal 19
Cukup jelas.
Pasal 20
Ayat (1)
Penggunaan bahan peledak, bahan beracun, aliran listrik dan lainlain tidak saja mematikan ikan, tetapi dapat pula mengakibatkan kerusakan pada lingkungan dan merugikan nelayan dan petani ikan. Apabila terjadi kerusakan sebagai akibat digunakannya bahan dan alat termaksud, maka pengendalian ke dalam keadaan seperti semula akan membutuhkan waktu yang sangat lama, atau bahkan mungkin mengakibatkan kepunahan. Oleh karenanya, penggunaan bahan-bahan tersebut harus dilarang.
Ayat (2) .
Dalam rangka pelaksanaan penelitian ilmiah atau kepentingan teknik lainnya, seperti untuk mengetahui sampai sejauh mana akibat yang ditimbulkan oleh suatu bahan peledak/beracun dan penggunaan alat lainnya, perlu dilakukan percobaan-percobaan untuk memperoleh data tentang akibat-akibatnya. Di samping itu mungkin untuk keperluan teknik lainnya diperlukan pula penggunaan bahan peledak dan bahan-bahan lainnya untukmemperoleh data kedalaman air, misalnya. Untuk kepentingankepentingan yang sedemikian rupa perlu diatur dengan surat Keputusan Gubernur.
Pasal 21
Ayat (1)
Pasal ini tidak mengurangi kemungkinan dilakukannya kegiatankegiatan lain di wilayah perikanan, Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam sepanjang kegiatan-kegiatan tersebut telah disertai langkah-langkah pencegahan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan lingkungannya sesuai ketentuan peraturan perundangundangan yang berlaku.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 22
Ayat (1)
Jenis-jenis ikan tertentu pada suatu saat mungkin sudah harus dianggap langka. Untuk itu demi kepentingan ilmu pengetahuan, kebudayaan serta pelestariannya perlu diadakan perlindungan kepada jenis-jenis tersebut dari kegiatan penangkapan. Di samping itu, perlu ditempuh berbagai langkah baik oleh Pemerintah sendiri atau pun dengan mendorong masyarakat untuk ikut seria membudidayakan jenis tersebut dalam rangka meningkatkan populasinya. Demikian pula halnya daerah-daerah perairan tertentu mungkin memiliki sifat-sifat. khas dan sangat indah. Keadaan alam yang demikian perlu ditetapkan sebagai suaka perikanan demi kepentingan-kepentingan daerah, dan nasional. Terhadap suaka perikanan yang demikian perlu dihindarkan dari kegiatan yang mungkin dapat merusak keindahannya.
Ayat (2)
Cukup jelas.
Pasal 23
Cukup jelas.
Pasal 24
Cukup jelas.
Pasal 25
Cukup jelas.
Pasal 26
Cukup jelas.
Pasal 27
Cukup jelas.

TAMBAHAN LEMBARAN DAERAH PROVINSI NANGGROEACEI I DARUSSALAM
NOMOR 10



BUBU

A. Pendahuluan
Bubu adalah alat tangkap yang umum dikenal dikalangan nelayan, yang berupa jebakan, dan bersifat pasif. Bubu sering juga disebut perangkap “ traps “ dan penghadang “ guiding barriers “.
Dalam operasionalnya, bubu terdiri dari tiga jenis, yaitu :
1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots).
Bubu yang daerah operasionalnya berada di dasar perairan.
2. Bubu Apung (Floating Fish Pots).
Bubu yang dalam operasional penangkapannya diapungkan.
3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots).
Bubu yang dalam operasional penangkapannya dihanyutkan.
Disamping ketiga bubu yang disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis bubu yang lain seperti :
  1. Bubu Jermal.
Termasuk jermal besar yang merupakan perangkap pasang surut (tidal trap).
  1. Bubu Ambai.
Disebut juga ambai benar, bubu tiang, termasuk pasang surut ukuran kecil.
  1. Bubu Apolo.
Hampir sama dengan bubu ambai, bedanya ia mempunyai 2 kantong, khusus
menangkap udang rebon.
B. Konstruksi Bubu
Bentuk bubu bervariasi. Ada yang seperti sangkar (cages), silinder (cylindrical),gendang, segitiga memanjang (kubus) atau segi banyak, bulat setengah lingkaran, dll. Bahan bubu umumnya dari anyaman bambu (bamboo`s splitting or-screen).
Secara umum, bubu terdiri dari bagian-bagian badan (body), mulut (funnel) atau ijeh, pintu.
Ø Badan (body).
Berupa rongga, tempat dimana ikan-ikan terkurung.
Ø Mulut (funnel).
Berbentuk seperti corong, merupakan pintu dimana ikan dapat masuk tidak dapat keluar.
Ø Pintu.
Bagian tempat pengambilan hasil tangkapan.
B.1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots)
Untuk bubu dasar, ukuran bubu dasar bervariasi, menurut besar kecilnya yang dibuat menurut kebutuhan. Untuk bubu kecil, umumnya berukuran panjang 1m, lebar 50-75 cm, tinggi 25-30 cm. untuk bubu besar dapat mencapai ukuran panjang 3,5 m, lebar 2 m, tinggi 75-100 cm.
B.2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Tipe bubu apung berbeda dengan bubu dasar. Bentuk bubu apung ini bisa silindris, bisa juga menyerupai kurung-kurung atau kantong yang disebut sero gantung. Bubu apung dilengkapi dengan pelampung dari bambu atau rakit bambu yang penggunaannya ada yang diletakkan tepat di bagian atasnya.
B.3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
Bubu hanyut atau “ pakaja “ termasuk bubu ukuran kecil, berbentuk silindris, panjang 0,75 m, diameter 0,4-0,5 m.
B.4. Bubu Jermal
Ukuran bubu jermal, panjang 10 m, diameter mulut 6 m, besar mata pada bagian badan 3 cm dan kantong 2 cm.
B.5. Bubu Ambai
Bubu ambai termasuk perangkap pasang surut berukuran kecil, panjang keseluruhan antara 7-7,5 m. bahan jaring terbuat dari nilon (polyfilament). Jaring ambai terdiri dari empat bagian menurut besar kecilnya mata jaring, yaitu bagian muka, tengah, belakang dan kantung. Mulut jaring ada yang berbentuk bulat, ada juga yang berbentuk empat persegi berukuran 2,6 x 4,7 m. pada kanan-kiri mulut terdapat gelang, terbuat dari rotan maupun besi yang jumlahnya 2-4 buah. Gelang- gelang tersebut dimasukkan dalam banyaknya jaring ambai dan dipasang melintang memotong jurusan arus. Satu deretan ambai terdiri dari 10-22 buah yang merupakan satu unit, bahkan ada yang mencapai 60-100 buah/unit.
B.6. Bubu Apolo
Bahan jaring dibuat dari benang nilon halus yang terdiri dari bagian-bagian mulut, badan, kaki dan kantung. Panjang jaring keseluruhan mencapai 11 m. Mulut jaring berbentuk empat persegi dengan lekukan bagian kiri dan kanan. Panjang badan 3,75 m, kaki 7,25 m dan lebar 0,60 m. pada ujubg kaki terdapat mestak yang selanjutnya diikuti oleh adanya dua kantung yang panjangnya 1,60 m dan lebar 0,60 m.
C. Hasil tangkapan Bubu
C.1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots)
Hasil tangkapan dengan bubu dasar umumnya terdiri dari jenis-jenis ikan, udang kualitas baik, seperti Kwe (Caranx spp), Baronang (Siganus spp), Kerapu (Epinephelus spp), Kakap ( Lutjanus spp), kakatua (Scarus spp), Ekor kuning (Caeslo spp), Ikan Kaji (Diagramma spp), Lencam (Lethrinus spp), udang penaeld, udang barong, kepiting, rajungan, dll.
C.2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Hasil tangkapan bubu apung adalah jenis-jenis ikan pelagik, seperti tembang, japuh, julung-julung, torani, kembung, selar, dll.
C.3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
Hasil tangkapan bubu hanyut adalah ikan torani, ikan terbang (flying fish).
C.4. Bubu Ambai
Hasil tangkapan bubu ambai bervariasi menurut besar kecilnya mata jaring yang digunakan. Namun, pada umumnya hasil tangkapannya adalah jenis-jenis udang.
C.5. Bubu Apolo
Hasil tangkapan bubu apolo sama dengan hasil tangkapan dengan menggunakan bubu ambai, yakni jenis-jenis udang.
D. Daerah Penangkapan
D.1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu dasar biasanya dilakukan di perairan karang atau diantara karang-karang atau bebatuan.
D.2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu apung dihubungkan dengan tali yang disesuaikan dengan kedalaman tali, yang biasanya dipasang pada kedalaman 1,5 kali dari kedalaman air.
D.3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
Dalam operasi penangkapan, bubu hanyut ini sesuai dengan namanya yaitu dengan menghanyutkan ke dalam air.
D.4. Bubu Jermal dan Bubu Apolo
Dalam operasi penangkapan, kedua bubu di atas diletakkan pada daerah pasang surut (tidal trap). Umumnya dioperasikan di daerah perairan Sumatera.
D.5. Bubu Ambai
Lokasi penangkapan bubu ambai dilakukan antara 1-2 mil dari pantai.
E. Alat Bantu Penangkapan
Dalam operasi penangkapan, terdapat alat bantu penangkapan yang bertujuan untuk mendapatkan hasil tangkapan yang lebih banyak.
Alat bantu penangkapan tersebut antara lain :
· Umpan.
Umpan diletakkan di dalam bubu yang akan dioperasikan. Umpan yang dibuat disesuaikan dengan jenis ikan ataupun udang yg menjadi tujuan penangkapan.
· Rumpon.
Pemasangan rumpon berguna dalam pengumpulan ikan.
· Pelampung.
Penggunaan pelampung membantu dalam pemasangan bubu, dengan tujuan agar memudahkan mengetahui tempat-tempat dimana bubu dipasang.
· Perahu.
Perahu digunakan sebagai alat transportasi dari darat ke laut (daerah tempat pemasangan bubu).
· Katrol.
Membantu dalam pengangkatan bubu. Biasanya penggunaan katrol pada pengoperasian bubu jermal.
F. Teknik Operasi (Sitting dan Hunting)
F.1. Bubu Dasar (Ground Fish Pots)
Dalam operasional penangkapannya bisa tunggal (umumnya bubu berukuran
besar), bisa ganda (umumnya bubu berukuran kecil atau sedang) yang dalam
pengoperasiannya dirangkai dengan tali panjang yang pada jarak tertentu diikatkan
bubu tersebut. Bubu dipasang di daerah perairan karang atau diantara karang-karang
atau bebatuan. Bubu dilengkapi dengan pelampung yang dihubungkan dengan tali
panjang. Setelah bubu diletakkan di daerah operasi, bubu ditinggalkan, untuk
kemudian diambil 2-3 hari setelah dipasang, kadang hingga beberapa hari.
F.2. Bubu Apung (Floating Fish Pots)
Bubu apung dilengkapi pelampung dari bambu atau rakit bambu, dilabuh melalui
tali panjang dan dihubungkan dengan jangkar. Panjang tali disesuaikan dengan
kedalaman air, umumnya 1,5 kali dari kedalaman air.
F.3. Bubu Hanyut (Drifting Fish Pots)
Pada waktu penangkapan, bubu hanyut diatur dalam kelompok-kelompok yang
kemudian dirangkaikan dengan kelompok-kelompok berikutnya sehingga jumlahnya
menjadi banyak, antara 20-30 buah, tergantung besar kecil perahu/kapal yang akan
digunakan dalam penangkapan.
Operasi penangkapan dilakukan sebagai berikut :
  1. Pada sekeliling bubu diikatkan rumput laut.
  2. Bubu disusun dalam 3 kelompok yang saling berhubungan melalui tali penonda (drifting line).
  3. Penyusunan kelompok (contohnya ada 20 buah bubu) : 10 buah diikatkan pada ujung tali penonda terakhir, kelompok berikutnya terdiri dari 8 buah dan selanjutnya 4 buah lalu disambung dengan tali penonda yang langsung diikat dengan perahu penangkap dan diulur sampai + antara 60-150 m.
F.4. Bubu Jermal
Pada bubu jermal, operasi penangkapan dilakukan dengan menekan galah yang
terdapat pada kanan/kiri mulut jaring ke bawah sampai di dasar sehingga mulut
kantung jaring terbuka. Bubu kemudian diangkat setelah dibiarkan 20-30 menit.
Pengambilan hasil tangkapan dilakukan dengan menutup mulut jaring dengan cara
mengangkat bibir bawah ke atas, kemudian diikuti mengangkat bagian-bagian tengah
kantong melalui katrol-katrol. Pengambilan hasil dilakukan dengan membuka ikatan
tali pada ujung belakang kantong.
F.5. Bubu Ambai
Penangkapan dengan bubu ambai dilakukan pada waktu air pasang maupun surut.
Arah dari mulut jaring dapat dibolak-balik dihadapkan darimana datangnya arus.
Setelah 15-20 dari pemasangan, dapat dilakukan pengambilan hasil, yaitu dengan
mengangkat bagian bawah mulut ke permukaan air dengan mempertemukan bibir
atas dan bawah. Demikian seterusnya dilakukan hingga seluruh deretan ambai selesai
dikerjakan, kemudian dilakukan pembukaan tali-tali pengikat pada ujung belakang
kantung. Operasi penangkapan dilakukan 2-3 orang untuk tiap kali penangkapan,
tergantung banyak sedikitnya unit atau jaring yang dipakai.
F.6. Bubu Apolo
Pengoperasian bubu apolo dilakukan baik siang ataupun malam hari pada waktu
air pasang maupun surut. Pengoperasian apolo ini memerlukan 2-3 orang. Tempat
melakukan operasi penangkapan, yakni 1-2 mil dari pantai.
G. Hal-hal Yang Mempengaruhi Penangkapan
Dalam setiap operasi penangkapan nelayan harus memperhatikan hal-hal yang
mungkin akan mempengaruhi hasil tangkapannya.Antara lain factor adanya lampu
sebagai alat bantu atau mungkin rumpon.Selain hal tersebut diatas perlu
diperhatikan efektifitas penangkapan,sehingga perlu adanya perkiraan hari dan
hitungan bulan(apakah ini termasuk bulan terang ataukah termasuk bulan mati)
H.Sumber Bacaan
Alat Penangkapan Ikan Dan Udang Laut di Indonesia.Nomor 50 Th. 1988/1989.
Edisi khusus. Jurnal Penelitian Perikanan Laut. Balai Penelitian Perikanan Laut.
Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Jakarta.
your Inbox.
Bottom of Form