Minggu, 01 November 2015

penyu sisik



PENDAHULUAN

1.                  Latar Belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia yang membahayakan populasinya secara langsung maupun tidak langsung.    
Dari tujuh jenis penyu di dunia, tercatat  enam jenis penyu yang hidup di perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea), penyu pipih (Natator depressus), penyu belimbing (Dermochelys coriacea), serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima jenis yang ditemukan, dimana (Caretta caretta) dinyatakan tidak ada. Namun demikian, beberapa peneliti mengungkapkan bahwa (Caretta caretta) memiliki daerah jelajah yang meliputi Indonesia (Charuchinda et al. 2002 dalam Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).  
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan teknik-teknik konservasi yang tidak memadai, perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman predator merupakan faktor-faktor penyebab penurunan populasi penyu.  Selain itu, karakteristik siklus hidup penyu sangat panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Kondisi inilah yang menyebabkan semua jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi oleh negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 Tahun 1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan dan Satwa yang Dilindungi. Secara internasional, penyu masuk ke dalam daftar merah (red list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat perhatian secara serius. (Nuitja, 2006 dalam Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan Hidup,  maupun Departemen Kelautan dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai dalam upaya pengelolaan Konservasi Penyu dengan melakukan kerjasama regional seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31 tahun 2004 tentang perikanan dan PP 60 tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan Konservasi Penyu. (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Akan tetapi pemberian status perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya mempertahankan populasi penyu di Indonesia.  Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur mesti segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan teknis tentang pengelolaan Konservasi Penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya pelaksana di lapang.
Oleh sebab itu, pada kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) ini Penulis ingin mengetahui cara penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), di UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman.  

2.      Tujuan Praktek Kerja Lapang
Tujuan Praktek Kerja Lapang ini adalah :
a)      Untuk mengetahui  tehnik atau cara penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), yang di lakukan pada UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman.

3.      Manfaat Praktek Kerja Lapang
Manfaat Praktek Kerja Lapang ini adalah :
a)      Dapat menambah wawasan dan informasi tentang upaya penangkaran penyu secara langsung dan membandingkan antara teori dan di lapangan.
b)      Dapat mengetahui pentingnya tata cara penangkaran penyu guna melestarikan satwa langka yang terancam punah di wilayah Negara Republik Indonesia atau antar area di dalam wilayah negara Republik Indonesia.










TINJAUAN PUSTAKA



1.      Klasifikasi  Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate)

Taksonomi penyu sisik (Eretmochelys imbricate) menurut Jatu (2007), adalah:
   Kingdom                  : Animalia
   PHylum                    : Chordata
   Class                         : Sauropsida
   Ordo                         : Testudines
   Sub ordo                              : Cryptodira
   Superfamily              : Chelonioidea
   Family                      : Cheloniidae  
   Spesies                     : Eretmochelys Imbricate







Gambar 1. Penyu Sisik (Eretmochelys Imbricate)
Nama ilmiah dari Penyu Sisik adalah Eretmochelys imbricata pada daerah pedesaan sering kali disebut penyu karang atau penyu genting. Disebut penyu karang karena binatang ini hidup pada kawasan terumbu karang dan disebut penyu genting karena susunan karapasnya yang letaknya nyaris bersusun susun seperti susunan genting. ( Konservasi Biota Terancam Punah, 2011).
 Penyu sisik bersifat karnifora, dengan makanan utama sponge, karang lunak, dan kerang-kerangan. Penyu sisik mudah dibedakan dengan jenis penyu lain dengan melihat skutnya yang tebal dan tumpang tindih yang menutupi karapasnya. Karakteristik skutnya yang tumpang tindih pada penyu sisik yang indah menyebabkan penyu ini di eksploitasi secara besar-besaran untuk ornament (Dermawan, 2003 dalam Konservasi Biota Terancam Punah, 2011).

2.      Morfologi
Ciri morfologi penyu sisik bentuk karapas seperti jantung (elongate) meruncing di punggung, kepalanya sempit serta karapasnya berwarna cokelat dengan beberapa variasi terang mengkilat (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009). Penyu sisik dewasa berbentuk oval/ elips, bagian pinggiran karapas bergerigi, kecuali pada tukik dan hewan yang sangat tua (Nuitja 1992 dalam Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Karapas penyu sisik memiliki empat pasang sisik rusuk (coastal scute) yang tersusun tumpang tindih seperti genting, lima vertebral scute  yang menyatu pada tulang belakang, di sekeliling tempurungnya terdapat lempeng-lempeng kecil yang disebut marginal scute berjumlah 13 yang saling tumpang tindih dan bergerigi. Sedangkan pada penyu muda biasanya bewarna hitam atau hitam kecoklatan dengan warna coklat terang  pada keel, pinggir cangkang dan sirip dan leher atas.  (Yusuf, 2000).
Penyu sisik sangat mudah dibedakan dengan jenis penyu lainnya dengan  melihat skutnya yang tebal dan tumpang tindih, yang menutupi karapasnya. Karapasnya sendiri berbentuk elip, dan ditutupi oleh lima skut sentral, empat pasang skut lateral, dan 11 pasang skut marginal. Skut dorsalnya lebih tebal disbanding penyu Hijau, dan berwama cerah. Karakteristik skut inilah yang menyebabkan penyu ini dieksploitasi secara besar-besaran untuk dijadikan ornamen, Warna skut sangat bervariasi dari regio satu ke regio lainnya. Skutnya memiliki corak garis-garis radia yang terdiri atas empat warna dasar yaitu hitam, coklat, merah, dan kuning. Lebar karapasnya adalah 70-79% dari total panjang karapas (diukur lurus – Scute Carapace Length). Jika pada penyu Hijau terdapat sepasang sisik prefrontalis, maka pada penyu Sisik terdapat dua pasang. (Konservasi Biota Terancam Punah, 2011).
Untuk dapat membedakan jenis kelamin penyu dewasa dapat dilihat pada Gambar 3, dimana penyu jantan dewasa memiliki ekor yang lebih panjang dari pada ekor penyu betina. Selain itu hal lain yang membedakannya adalah ukuran kepala penyu jantan lebih kecil dari penyu betina. Hampir dapat dipastikan, penyu yang naik pada malam hari ke pantai adalah penyu betina (Nuitja, 1992 dalam Konservasi Biota Terancam Punah, 2011). 

3.    Habitat

Habitat penyu adalah laut yang airnya bersih dan dingin seperti halnya pada laut Samudera. Sedangkan daerah yang disukai penyu adalah laut dalam. Untuk mencari makan biasanya penyu pergi ke perairan yang dangkal dengan sedikit batu-batuan serta kedalaman air tidak melebihi 200 meter karena di daerah ini banyak terdapat rumput-rumputan atau jenis ganggang yang merupakan makanan pokok dari berbagai jenis penyu. Wilayah perairan yang berbatu selain sebagai tempat beristirahat atau berlindung juga terdapat ikan kecil, udang, moluska, dan spon. Kebanyakan penyu bersifat omnivora, meskipun pada beberapa jenis ada yang bersifat herbivora dan karnivora (Kartika, 2008 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI,( 2009).
Berdasarkan habitat, penyu terbagi dalam dua jenis yaitu habitat laut dan darat. Pada habitat laut, semua jenis penyu pada umumnya sangat menyukai hidup pada bagian-bagian laut yang dangkal dan terdapat tumbuh-tumbuhan seperti yang terdapat di daerah terumbu karang serta ditumbuhi oleh rumput laut dan padang lamun. Sedangkan pada habitat darat, penyu naik ke darat untuk bertelur dan selama telur berada pada sarangnya didalam pasir serta saat telur baru menetas menjadi tukik sebelum turun ke laut. Tiap jenis penyu menyukai tipe habitat yang berbeda-beda di laut maupun di darat yang mungkin disebabkan oleh jenis makanan yang disukainya. Sehingga keberadaan masing-masing jenis penyu berbeda-beda di daerahnya (Kartika, 2008 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI,( 2009).

4.      Habitat Bertelur Penyu

Pasir merupakan tempat yang mutlak diperlukan untuk penyu bertelur.  Habitat peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur merupakan pantai yang luas dan landai serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30  derajat di pantai bagian atas. (Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Jenis tanaman atau formasi vegetasi pantai yang biasanya terdapat di sepanjang daerah peneluran penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan adalah sebagai berikut.
a)   Tanaman Pioner
b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus, Gynura procumbens, dan lainnya
c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata, Terminalia catappa, Cycas rumpHii, dan lainnya
d)   Zonasi terdalam dari
formasi hutan pantai CallopHyllum inopHyllum, Canavalia ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.

5.       Reproduksi

Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan generasi baru (tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai berikut:

a.      Perkawinan

Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas punggung penyu betina (Gambar 2). Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu, dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa.
Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina berenang. Penyu jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di
permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih (Dapertemen
Kelautan dan Perikanan RI, 2009).  

Gambar 2. Perkawinan Penyu
Untuk membedakan kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara ”sexual dimorp Hism”, yaitu membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai berikut
(Tabel 1 dan Gambar 3).
Tabel 1. Perbedaan Jenis Kelamin Penyu




Gambar 3. Perbedaan Jenis Kelamin Penyu : kiri jantan ; kanan betina
Sumber : ( Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Menurut Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI (2009), pertumbuhan embrio sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu antara 24–33 °C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, antara lain:
·         Suhu pasir. Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas.
·         Kandungan air dalam pasir. Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak akan berkembang dan mati.
·         Kandungan oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh telur, akibatnya embrio akan mati.
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan hingga tukik keluar dari sarang menurut Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI (2009) yaitu disajikan pada gambar dibawah ini :






Gambar 4. Proses Penetasan
Keterangan:
1.      Telur dalam sarang
2.      Tukik memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle) yang terdapat di ujung rahang atas.
3.      Tukik mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio terlepas
4.      Tukik bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk  mencapai ke permukaan
Induk penyu tidak mengerami telur-telurnya tetapi diserahkan pada alam untuk melakukannya. Telur-telur tersebut akan menetas secara alami. Suhu inkubasi pada telur penyu agar embrio tumbuh dengan baik memiliki kisaran antara 24-33 °C. masa inkubasi tergantung pada, suhu pasir disekitar sarang. Makin tinggi suhu pasir makin cepat pula telur-telur tersebut akan menetas. Sarang yang terdapat di area terbuka dengan sinar matahari yang selalu mengenai permukaan pasir akan lebih cepat menetas dibandingkan sarang yang terletak di daerah/bawah tumbuhan dengan intensitas cahaya yang minim. Rata-rata telur akan menetas setelah 60 hari. Disamping mempengaruhi persentase jenis kelamin tukik yang akan lahir. Dengan kata lain jenis kelamin penyu yang akan lahir ditentukan oleh suhu inkubasi. Apabila 24 °C atau kurang maka 100% tukik yang lahir adalah jantan, sedangkan bila suhu inkubasi 32 °C atau lebih maka 100% tukik yang akan lahir adalah betina (Prihanta, 2007).

b.      Makanan

Habitat penyu adalah laut yang airnya bersih dan dingin seperti halnya pada laut Samudera. Sedangkan daerah yang disukai penyu adalah laut dalam. Untuk mencari makan biasanya penyu pergi ke perairan yang dangkal dengan sedikit batu-batuan serta kedalaman air tidak melebihi 200 meter karena di daerah ini banyak terdapat rumput-rumputan atau jenis ganggang yang merupakan makanan pokok dari berbagai jenis penyu. Wilayah perairan yang berbatu selain sebagai tempat beristirahat atau berlindung juga terdapat ikan kecil, udang, moluska, dan spon. Kebanyakan penyu bersifat omnivora, meskipun pada beberapa jenis ada yang bersifat herbivora dan karnivora (Kartika, 2008).
c.       Hama dan Penyakit
Keberadaan hama merupakan salah satu hal yang mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu. hama tersebut yaitu seperti ketam, biawak, semut, babi, musang yang memangsa telur penyu di dalam sarang Departemen Kelautan dan Perikanan RI,( 2009)
Banyak ditemui juga beruang dan rubah sebagai predator telur penyu. Sementara itu tukik yang baru keluar dari pasir menjadi incaran kepiting, burung elang dan gagak. Tukik yang selamat sampai kelaut menjadi mangsa ikan hiu maupun burung camar. Disamping itu ada pula induk penyu yang diserang oleh ikan hiu, atau ketika induk penyu naik untuk bertelur, diganggu oleh anjing yang mengakibatkan tidak sedikit induk penyu yang mati karena gangguan tersebut (Yusuf, 2000 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009 )
Penyakit yang sering menyerang penyu yaitu jenis parasit yang menyerupai kerang-kerangan atau biasa kita sebut teritip yang hampir mirip dengan jenis teritip yang biasanya menempel di lambung kapal. Warna teritip ini putih dengan bagian lunak didalamnya yang lama kelamaan dapat mengikis kerapas penyu sehingga berlubang. Parasit ini biasanya ditemukan di kerapas namun tidak menutup kemungkinan untuk tumbuh di bagian tubuh lain karena juga ditemukan parasit jenis ini dapat tumbuh di kepala penyu maupun di flipper penyu. Selain  parasit jenis teritip tersebut, juga ditemukan parasit sejenis makhluk lunak seperti lintah yang biasanya terdapat pada leher penyu terutama pada bagian tubuh penyu yang lunak. Hewan ini sifat hidupnya cenderung berkoloni sehingga jika dibiarkan makin  lama akan makin banyak dan akan menyakiti penyu tersebut (Grie,2010).

6.      Siklus Hidup Penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-puluh tahun untuk mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh (hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran.  Pada umur yang belum terlalu diketahui (sekitar 20-50 tahun) penyu jantan dan betina bermigrasi ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya.
Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun betina memiliki beberapa pasangan kawin.  Penyu betina menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7 sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu betina menyelesaikan kegiatan bertelur dua mingguan di pantai. ( Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Penyu betina akan keluar dari laut jika telah siap untuk bertelur, dengan menggunakan sirip depannya menyeret tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain. Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong homing instinct”) yang kuat yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding ground).  Migrasi ini dapat berubah akibat berbagai alasan, misalnya perubahan iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah peneluran, misalnya tsunami. (Nuitja, 1986 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009). Siklus hidup penyu secara umum dapat dilihat pada skema pada Gambar 5.















Gambar 5. Skema siklus hidup penyu

7.      Status dan Pelestarian Penyu

Kompleksitas isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan konservasinya, dan kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab kompleksitas permasalahan ini.  Seluruh aturan mesti dipergunakan secara bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan yang masih tersisa. (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Luasnya cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya pengaturan yang meliputi daratan (pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12 mil), zona ekonomi ekslusif sampai di lautan lepas. Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara mewajibkan adanya pengaturan bilateral, tri nasional bahkan regional. Kompleksitas dampak sosial-ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya memandatkan adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal terakhirini, barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari keterlibatan lembaga–lembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya penyelamatan populasi penyu. (Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)


 












 

 

 


 

 

 


METODE PRAKTEK

1.      Waktu dan Tempat

 Praktek Kerja Lapang telah dilaksanakan pada 17 Juni 2015 sampai 17 juli 2015 di kawasan Simpang Apar Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat, yang merupakan area perlindungan penyu atau Konservasi Penyu.

2.       Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah telur, tukik, penyu, ikan rucah dan, methylen blue 250 g. Sedangkan alat yang digunakan selama praktek kerja lapangan ini adalah pH meter untuk mengukur keasaman air laut dan perairan kolam, termometer untuk mengukur suhu, hand refraktometer untuk mengukur salinitas, meteran untuk mengukur kedalaman sarang, sekop kecil untuk menggali sarang inkubasi telur penyu, ember/baskom untuk wadah pakan, styrofoam sebagai wadah tukik setelah menetas, spon untuk mengelap tukik, bros untuk menggosok kerapas penyu yang berlumut, kamera digital untuk dokumentasi selama di lapangan, dan notebook sebagai pengolah data, serta alat tulis dan penunjang data lainnya.

3.      Metode Praktek lapangan

Metode yang digunakan dalam praktek kerja lapangan ini adalah metode langsung turun ke lapangan yaitu ikut serta dalam kegiatan penangkaran penyu sisik (Eretmochelys imbricate)  yang terdapat di UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari praktek langsung dan wawancara pembimbing lapangan, pegawai dan teknisi. Sedangkan, data sekunder di peroleh dari kantor UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat, dan instansi terkait yang berhubungan dengan data yang diperlukan, serta ditambah dengan literatur yang mendukung kejelasan mengenai data yang didapatkan tersebut.

4.      Prosedur Kerja

a.      Penetasan Telur Penyu

Pemindahan telur ke sarang baru (semi alami) penting dilakukan dalam kegiatan pelestarian penyu dan penetasan telur ini merupakan tahap awal dalam proses penangkaran. Pemindahan telur penyu dimaksud untuk penghindari pemangsaan telur penyu dari predator seperti biawak, ular, babi hutan, anjing dan juga manusia. Diharapkan dengan adanya relokasi telur ke tempat penetasan mampu meningkatkan daya tetas telur penyu tersebut di bandingkan di alam lansung . Adapun yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut :

1.      Ambil pasir dengan menggunakan sekop, kemudian masukan pasir tersebut kedalam Styrofoam yang sudah di isi telur. Pasir yang di ambil adalah pasir yang tidak terkena pasang tertinggi.
2.      Bawa telur yang siap di relokasi keruang inkubasi, kemudian buar sarang baru dengan menggali pasir. Kedalaman sarang ± 35 – 40 cm dengan diameter 15 - 25 cm.
3.      Masukan telur yang di peroleh dari masyarakat satu per satu kedalam sarang semi alami kemudian telur di timbun dengan pasir secara perlahan lahan.
4.      Beri papan tanda sarang baru yang berisi daerah peneluran, tanggal peneluran, jumlah telur, tanggal perkiraan menetas, dan jenis spesies.
5.      Catat data yang telah diperoleh.
·         Tanggal tukik menetas
·         Jumlah tukik yang hidup
·         Jumlah tukik yang mati
·         Jumlah cangkang telur
·         Jumlah tukik yang mati dalam proses penetasan
·         Tulur yang tidak dapat di buahi sehingga tidak dapat berkembang

b.      Pendederan
Pendederan dilakukan setelah tukik menetas. Tukik yang menetas tersebut dipindahkan ke dalam Styrofoam yang telah di isi air laut dengan ketinggian 10 – 15 . Pendederan  dilakukan selama 2 hari dengan padat tebar maksimal 15 ekor/m2. Padat tebar harus di perhatikan agar tukik dapat dengan leluasa berenang dan juga untuk menghindari dalam masalah persaingan makanan.

c.       Pemberian Pakan
Pakan  yang diberikan untuk tukik penyu sisik yaitu ikan rucah. Pemberian pakan pada  tukik penyu sisik dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari. Pakan diberikan secara adlibitum dan disebarkan.



d.      Pengelolaan Kualitas Air
Pengelolaan kualitas air dilakukan dengan cara pembersihan lumut setiap hari. Selain itu monitoring kualitas air secara berkala sangat penting untuk dilakukan parameter kualitas air yang perlu di perhatikan didalam penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) adalah, suhu, pH, dan salinitas.

e.       Pelapasan Tukik
Tukik yang sudah berumur 5 bulan telah memiliki karapas yang keras dan sudah bisa dilepas ke laut. Adapun hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan penyu adalah sebagai berikut :
1.      Pelepasan tukik dilakukan pada saat cahaya matahari tidak bersinar terik atau setelah matahari tenggelam, karena dapat menghindari banyak predator dan mencegah kekeringan pada tubuh tukik.
2.      Tukik dilepas di lokasi yang berbeda – beda agar terhindar dari pemangsaan secara bersamaan oleh predator.
3.      Tukik tidak di lepas langsung ke laut, tapi di lepas di pantai. Hal ini bertujuan agar dapat mengingat karakteristik pantai.

f.         Analisis Data

Data yang diperoleh dari UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman dikumpulkan dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang teknik Penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).

1.                  Hatching Success (HS)
Untuk mengetahui tingkat kesuksesan (hatching success/HS) dapat dihitung dengan rumus :
 HS (%) =  x 100 %


2.                  Tingkat Lulus Kehidupan
Untuk menghitung persentase keberhasilan selama pemeliharaan tukik dapat dihitung dengan rumus :
SR =  x 100 %
Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah tukik yang hidup diakhir pemeliharaan (ekor)
No : Jumlah tukik yang hidup diawal pemeliharaan (ekor)








HASIL DAN PEMBAHASAN
1.      Keadaan Umum UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
UPT Konservasi Penyu ini terletak di Desa Apar Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman dengan koordinat o 33’00’’ – 0o 40’ 43” lintang selatan dan 100o 10’30’’ – 100o 10’ 55’’ bujur timu. UPT Konservasi Penyu ini berjarak ± 3 km dari pusat Kota Pariaman. Luas komplek UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman 435,89 Ha yang terdiri dari kantor, pos jaga, ruang inkubasi telur, laboratorium, ruang pendederan, bak pembesaran.
Kota Pariaman memiliki 5 pulau yaitu Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso, Pulau Kasiak Dan, Pulau Gosong. Yang merupakan Kawasan Konservasi Perairan KKP di Kota Pariaman. Pada saat ini Kota Pariaman telah berhasil melakukan penangkaran terhadap 3 (tiga) jenis penyu yaitu : penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang  (Lepidochelys olivacea). Namun spesies yang paling banyak di temukan di pantai pariaman adalah jenis penyu hijau (Chelonia mydas), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Kondisi topografi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah daratan rendah, memiliki panjang pantai sekitar 12,73 km, tekstur pasir yang halus berwarna kecoklatan, terdapat batu pemecah gelombang (breakwater). Luas disekitar kawasan pantai terdapat vegetasi tumbuhan cemara, ketaping dan tumbuhan merambat lainnya.



2.      Sejarah Singkat Berdirinya UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
Berdasarkan Undang – Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 yaitu suaka perikanan (Pasal 7 Ayat 1), peraturan pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan, Undang – Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan sejalan dengan semangat otonomi daerah, maka dikembangkanlah Pusat Penangkaran Penyu Kawasan Konservasi Perairan (KKP) kota pariaman yang kini lebih di kenal dengan UPT Konservasi Penyu. Namun Pusat Penangkaran Penyu KKP Kota Pariaman belum berdiri sendiri, tapi masih berada dibawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Pariaman.

3.      Fungsi dan tugas pokok
a.      Fungsi
Adapun fungsi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman yaitu :
1.      Perlindungan habitat dan populasi biota perairan.
2.      Rehabilitas habitat dan populasi biota perairan.
3.      Penelitian dan Pengembangan .
4.      Pemanfaatan Sumberdaya ikan dan jasa lingkungan (ekowisata,dll)
5.      Pengembangan sosial  ekonomi masyarakat.
6.      Pengawasan dan pengendalian .
7.      Monitoring dan Evaluasi.
8.      Pengembangan Program kerjasama / Jeraring Konservasi.


b.         Tugas Pokok
                 Tugas pokok UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah pelestarian penyu dengan melakukan penangkaran dan sosialisai tentang pentingnya melestarikan penyu kepada masyarakat.

4.      Visi dan Misi UPT Penangkaran Penyu Kota Pariaman
a.      Visi
“ Terwujudnya kesejahtraan masyarakat melalui pengembangan ekowisata berbasis pelestarian penyu beserta habitatnya ”.
b.      Misi
1.      Mendorong terciptanya penguatan dalam pengelolaan kawasan konservasi.
2.      Mendorong peningkatan kesejahteraan ekonomi masyarakat melalui wisata berbasis konservasi penyu.

5.      Tujuan dan Sasaran UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
a.      Tujuan
Melindungi populasi penyu dan habitatnya dari ancaman yang menyebabkan penurunan populasi.
b.      Sasaran
1.      Masyarakat, yaitu berbukanya kesempatan usaha bagi masyarakat sekitarnya           ( membuat kerajinan, kuliner, penginapan, jasa tranportasi dll).
2.      Pemerintahan daerah yaitu dapat menjadi ikon bagi pemerintah daerah.


6.      Struktur organisasi
Unit pelayanan teknis (UPT) konservasi penyu kota pariaman dipimpin oleh kepala Bidang Pengawasan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dibantu oleh kepala Seksi Pengawasan dan pengendalian, Kepala Seksi konservasi dan beberapa staf. Bagan Struktur organisasi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman (terlampir)

7.      Sarana Dan Prasarana UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
Dalam mendukung semua kegiatan UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman, maka UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman dilengkapi dengan sarana dan prasarana diantaranya :
Tabel 2 Wadah Penetasan Telur  Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) Yang Digunakan di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Wadah
Ukuran wadah
(m)
Jumlah
(unit)
Padat tebar
1
Bak pasir
10 x 7
1
80 – 100

Berdasarkan data dari tabel 2 dapat di ketahui ukuran wadah penetasan, jumlah, serta padat tebar telur penyu pada wadah penetasan sangat etar kaitannya dengan kegiatan penangkaran di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman.






Tabel 3 Wadah Pemeliharahan Tukik Penyu Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Jenis wadah
Ukuran wadah (m2)
Jumlah unit
1
Pendederan
·         Styrofoam
·         Bak

0,75
1,5

5
4
2
Pembesaran
·         Bak A
·         Bak B

2
3,75

16
4
Total
29

Berdasarkan tabel 3 dapat diketahuin ukuran dan jumlah wadah pemeriharaan tukik penyu sisik yang ada, hal ini erat kaitannya dengan penangkaran penyu di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman.
Tabel 4 Sarana yang Prasarana yang Ada di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Sarana dan prasarana
jumlah
1
Bak
·         Pendederan
·         Pembesaran

4
20
2
Bak  inkubasi
1
3
Rumah jaga
2
4
Gedung dan sarana lain
·         kantor
·         aula
·         pos jaga
·         ruang pakan

1
1
1
1

Prasarana pendukung lainnya yang ada di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah :


a.      Jaringan Listrik
kapasitas jaringan listrik yang ada di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah sebesar 60 KVA berasal dari PLN Rayon Ampalu kota pariaman. Untuk menanggulangi terjadinya gangguan pemadaman listrik dari PLN maka dipersiapkan juga generator set (Genset) sebanyak 1 unit dengan kapasitas 60 KVA.

b.      Sarana Tranportasi
Untuk menunjang kelancaran kegiatan, UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman ditunjang oleh beberapa kenderaan oprasional antara lain : kenderaan roda 4 (empat) 1 (satu) unit dan kemderaan roda 2 (dua) 1 (satu) unit.

1.      Teknik Penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
a.      Penetasan Telur
Relokasi atau pemindahan telur dilakukan dari penetasan alami ke penetasan semi alami. Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali ke laut. Pemindahan telur penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus dilakukan dengan hati-hati karena sedikit kesalahan dalam prosedurakan menyebabkan gagalnya penetasan. (Departemen Kelautan dan Perikanan RI,2009).
Pemindahan telur dilakukan dengan tidak mengubah posisi awal telur (membalikkan telur), hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam pembentukkan embrio walaupun pada usia 2 jam setelah induk meletakkan telur ke dalam sarang telur masih toleran terhadap perubahan (oviposisi). Hal ini diperkuat dengan pernyataan Limpus (1984) dalam Darmawan (1997), selama ± 10 jam pertama setelah telur diletakkan oleh induk, keadaan substansi isi telur tidak mengalami banyak perubahan (masih toleran terhadap terjadinya perubahan letak posisi).
Telur penyu di peroleh dari para pencari telur yang merupakan warga sekitar pantai peneluran (gambar 7). Telut yang dibeli haruslah telur yang masih dalam kondisi bagus dan tidak boleh berumur lebih 10 jam semenjak proses peneluran, karena telur yang dipindahkan dari sarang alaminya setelah melebihi waktu 10 jam akan memiliki presentase daya tetasan yang rendah. Telur yang dikumpulkan di beli dengan harga 3000 Rp -,







Gambar 6. Telur – telur  yang dibeli dari pencari telur penyu
-                    Persiapan sarang penetasan buatan / semi alami
Sarang penetasan telur semi alami di buat dalam bak pasir yang mudah di control. Sarang penetasan digali dengan kedalaman yang sama dengan sarang alaminya yaitu antara 35 – 40 cm dengan diameter 15 – 25 cm. Lokasi sarang penetasan dibuat dalam bak pasir agar mudah di control  guna menghindari gangguan yang mungkin terjadi oleh binatang predator seperti anjing dan lain-lain,
-                    Inkubasi telur
Telur penyu yang terkumpul diinkubasikan di dalam lubang sarang yang telah disiapkan. Sarang semi alami dibuat untuk menggantikan masing-masing sarang alami di alam, artinya telur dari sarang yang berbeda tidak dicampur dalam satu sarang penetasan. Selanjutnya lubang sarang ditutup dengan  pasir dan ditandai dengan papan kecil yang berisi informasi tanggal awal inkubasi telur, jumlah telur yang diinkubasi, jenis telur penyu yang diinkubasi serta tanggal perkiraan dan asal peneluran penyu ( Gambar 8 ).







Gambar 7. Telur – telur yang sedang diinkubasi
Secara alami telur penyu akan menetas (menjadi tukik) setelah diinkubasikan selama 50 – 60 hari, sedangkan menurut (Crite, 2000 dalam Priyo, 2011), telur akan menetas dengan sendirinya setelah diinkubasi selama 40 – 72 hari, yaitu waktu yang diperlukan sejak telur ditanam dalam pasir sampai menetas dan tukik muncul ke permukaan.
Tabel 5 Data Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang Diinkubasi Selama Praktek Kerja Lapang di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman.
No
Daerah Asal Telur
Tanggal Peneluran
Jumlah Telur
(butir)
Tanggal Perkiraan Menetas
Jenis Penyu
1
P. Gosong
17-6-2015
80
26-7-2015
Sisik
2
P. Ujung
21-6-2015
90
30-7-2015
Sisik
3
P.Tangah
24-6-2015
84
3-8-2015
Sisik

Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa jumlah telur penyu yang diperoleh adalah sebanyak 254 butir yaitu 80 butir telur penyu sisik yang ditemukan di Pulau Gosong, 90 butir telur penyu sisik yang ditemukan di Pulau Ujung dan, 84 butir telur penyu sisik yang di temukan di Pulau Tangah kota pariaman.
Selama ± 50 hari telur penyu sisik diinkubasi, maka telur penyu tersebut akan menetas. Untuk memperoleh tukik tukik yang perkelamin jantan pada proses inkubasi, maka dipertahankan suhu 24 oC dan betina yaitu pada suhu 32oC ke atas (Prihanta, 2007).
Selama masa inkubasi, telur akan berkembang dan tumbuh menjadi tukik yang mirip dengan induknya. Telur yang sudah diinkubasi selama ± 50 hari lalu menetas menjadi tukik (Gambar 8). Yusuf (2000) menyatakan bahwa tukik yang baik dalam telur, akan memecahkan cangkang telur dari dalam dengan menggunakan ujung paruh yang terdapat di ujung rahangnya, kemudian keluar dari cangkang telur. Peristiwa pecahnya cangkang telur oleh tukik ini di sebut dengan penetasan. Tukik yang baru menetas ini mengandung kuning telur yang mengumpal diperutnya juga mempunyai tali pusar yang berhubung dengan embrio. Setelah semua menetas tukik – tukik mulai bergerak menembus pasir diatasnya untuk selanjutnya keluar permukaan pasir.






Gambar 8. Tukik yang behasil menetas.
Selama praktek kerja lapang berlangsung  di peroleh jumlah telur yang menetas dan tidak berkembang menjadi tukik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Data Penetasan Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Selama Praktek Kerja Lapang Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Data Penetasan
Actual hatching date
26-7-2015
Ekor/Butir
30-7-2015
Ekor/Butir
3-8-2015
Ekor/Butir
1
Jumlah tukik yang hidup
75
84
80
2
Jumlah tukik yang mati
3
-
1
3
Jumlah tukik yang kondisi lemas
-
5
2
4
Jumlah cangkang telur
78
89
84
5
Jumlah telur yang tidak berkembang (embrio)
2
-
-
7
Jumlah telur yang tidak di buahi
-
1
1

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa jumlah telur penyu sisik yang menetas menjadi tukik pada tanggal 26 Juli 2015 yaitu 75 ekor dan jumlah telur yang gagal 5 butir/ekor. Sedangkan pada tanggal 30 Juli 2015 jumlah telur penyu sisik yang menetas menjadi tukik 84 ekor dan jumlah telur yang gagal 6 butir/ekor, pada tanggal 3 Agustus 2015 jumlah telur penyu sisik yang menetas menjadi tukik 80 ekor dan jumlah telur yang gagal 4 butir/ekor. Tingkat keberhasilan dalam penetasan penyu sisik dapat di hitung dengan menggunakan rumus di bawah ini dan jumlah HS (Hatcing Success) yang dapat dilihat pada tabel 7.
HS (%) =  x 100 %




Tabel 7. Tingkat Keberhasilan Penetasn Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Selama Praktek Kerja Lapang Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
Tanggal penetasan
Jumlah tukik yang hidup
Jumlah telur dalam sarang
HS %
26 – 7 – 2015
75
80
93,75 %
30 – 7 – 2015
84
90
93, 33 %
3 – 8 – 2015
80
84
95, 23 %

Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa HS (Hatcing Success) telur penyu sisik tergolong tinggi yaitu 94 % pada tanggal 26 Juli, 30 Juli dan, 3 Agustus 2015.

b.      Pendederan
Tukik penyu sisik yang baru menetas dibiarkan berada dipasir hingga lendir pada tubuh tukik kering. Setelah lendir ditubuhnya kering, maka tukik dipindahkan kedalam Styrofoam yang berisi air laut dengan ketinggian 10 – 15 cm kemudian dipindahkan dalam bak pendederan. Pada masa pendederan ,  tukik dipelihara didalam bak selama ± 2 hari. Setelah ± 2  hari tukik dipelihara dalam  bak, kemudian tukik penyu sisik siap untuk di lepaskan ke laut.






Gambar 9. Tukik dalam bak pendederan
Jumlah tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)  pada bak pendederan di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman pada saat melakukan praktek kerja lapang berjumlah 146 ekor. Untuk mengetahui pada penebaran tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang umumnya dilakukan dikolam pendederan dan pembesaran di upt konservasi penyu kota pariaman dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Padat Tebar Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Dikolam Pendederan
Wadah
Bahan
Bentuk
Ukuran (m2)
Padat Tebar (ekor/m2)
Jumlah
Bak pendederan
semen
Persegi panjang
1,5
20
4

Berdasarkan tabel diatas dapat diketahui bahwa padat pemebaran pada bak pendederan dan pembesaran tidak terlalu tinggi sehingga tukik bebas dan bersaingan untuk mendapatkan makanan dapat dihindari, sehingga tingkat kelulusan hidup tukik selama pemeliharaan tidak terlalu tinggi.
c.       Pemberian pakan
Selama ± 1 hari kuning telur habis tukik penyu sisik diberi pakan berupa ikan rucah (Gambar 11). Ikan – ikan rucah yang biasa diberi yaitu ikan tongkol (Thunnus alalunga), ikan teri (StolepHorus commersoni), dan ikan pepetek (Leiognathus dussumier). Ikan rucah tersebut di cincang halus agar tukik dapat tukik dapat mencerna pakan dengan mudah. Pemberian pakan dilakukan secara adlibitum dengan frekuensi dua kali sehari, yaitu pada pukul 08.00 dan pukul 16.00. pakan diberikan dengan cara menebarkannya langsung pada bak peliharaan. Pemberian pakan pada masa pendederan  harus diperhitungkan secara tepat sehingga tukik dapat tumbuh dengan baik dan memiliki kelansungan hidup yang tinggi. Dan hal ini juga dapat mencegah kanibalisme oleh tukik yang satu dengan yang lainnya.







Gambar 10. Ikan rucah yang telah dicincang

d.      Pengelolaan Kualitas Air
               Air merupakan faktor utama dalam kegiatan penangkaran penyu sisik. Sumber air berasal dari air laut yang meresap kedalam tanah dan dipompa mengunakan pompa air. Kualitas air yang digunakan sebagai media siklus yang dipelihara juga memerlukan perhatian khusus. Beberapa parameter kualitas air yang diperhatikan didalam penetasan telur dan pemeliharaan tukik penyu sisik yaitu Suhu, pH, dan salinitas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Parameter Kualitas Air Diwadah Penetasan Dan Pemeliharaan Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Dikolam Pendederan Dan Pembesaran Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Parameter yang diukur
Satuan
Hasil Uji
Bak Penetasan
Bak Pemeliharaan
1
Suhu
oC
25 – 30
25 – 30
2
pH
-

7,4 – 7,7
3
Salinitas
ppt

31 – 35

Dari  tabel diatas dapat dilihat bahwa secara umum kualitas air di upt konservasi penyu kota pariaman menunjukan hasil yang baik dimana kisarannya masih memenuhi syarat untuk kelansungan hidup telur dan tukik penyu sisik.

1.      Suhu
Pengukuran suhu pada sarang telur, bak pendederan dan bak pembesaran dilakukan dengan mengunakan thermometer. Dari hasil pengukuran tampak bahwa suhu pada sarang telur, bak pendederan dan pendederan relative stabil dan baik bagi kehidupan tukik penyu sisik. Kisaran suhu selama perakter kerja lapang berkisar 25 – 30 oC. Pada suhu tersebut masih tergolong normal untuk penetasan telur dan pertumbuhan tukik. Hal ini diperkuat oleh pendapat Yusuf (2000), suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat berjalan dengan baik adalah 24ºC – 33 ºC. Stickney (1979) juga menyatakan 16 – 25 ºC sebagai kisaran suhu optimal yang baik terhadap pertumbuhan tukik.

2.      pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Dari hasil pengukuran tampak bahwa pH pada bak pemeliharaan tukik penyu sisik cenderung stabil yaitu 7,4 – 7,7. PH air laut cenderung stabil seperti yang dikemukakan oleh wardoyo dan jokosetiyanto, 1988 dalam naulita, 1990 bahwa pH air laut cenderung stabil karena mempunyai kemampuan menyangga (buffer capacity) yang tinggi sehingga air laut yang digunakan masih dalam kondisi yang cukup baik.

3.      Salinitas
            Pengukuran salinitas dilakukan dengan menggunakan hand refractometer. Dari hasil pengukuran tampak bahwa salinitas pada bak pemeliharaan tukik penyu sisik berkisar antara 31- 35 ppt. Salinitas merupakan parameter lingkungan yang mempengaruhi proses biologi. Salinitas mempengaruhi kualitas air dalam total konsentrasi osmotic, keberadaan dan konsentrasi ion, kelarutan oksigen dan berat jenis (Casdika, 1998 dalam Supriadi, 2012).
               Selanjutnya salinitas secara langsung  akan mempengaruhi kehidupan organisme, diantaranya akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang dikosumsi, nilai konversi makanan dan daya kelangsungan hidup biota air (Casdika, 1998 dalam Supriadi, 2012). Dari hasil pengukuran tampak bahwa salinitas air yang berada dipenangkaran yaitu 35 ppt dan hal tersebut masih tergolong sesuai dengan salinitas perairan alami sebagai tempat penyu sisik tersebut hidup.

e.       Kelulusan Hidup Tukik
Tabel 10. Tingkat Kelulusan Hidup (SR) Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
Jumlah Tukik Awal Pengamatan
Jumlah Tukik Akhir Pengamatan
Umur (Hari)
SR %
1
98
95
2
96,93 %
2
85
84
3
98,82 %
Keterangan : Data yang diambil 2 sarang sebagai sampel
               Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa SR tukik penyu sisik tergolong tinggi yaitu di atas 90 % .

f.       Pelepasan tukik
               Pelepasan dilakukan  setelah tukik dinyatakan sehat dan kuat. Artinya pada usia menginjak 2 - 5 tukik yang ada pada kolam pendederan sudah bisa dilepas kelaut karena tukik tersebut sudah kuat sehingga mampu untuk persaing dan menghindari musuh – musuh alaminya dilaut lepas. Dari 100 % Tukik yang berhasil menetas hanya 75 % saja yang di lepas ke laut sedangkan sisa 25 % nya di besarkan sebagai sarana edukasi dan penyuluhan. Pelepasan tukik kelaut dilakukan pada saat senja hari yaitu pada pukul 5 – 7 malam, ketika udara mulai dingin yang gelap, hal ini dimaksud untuk menjaga agar tukik tidak mudah dimakan oleh predator. Secara naluriah tukik akan menuju cahaya paling terang sebagai pemandunya untuk menuju laut.
Tukik yang dilepas kelaut tidak akan langsung menuju air laut. Tukik – tukik  akan beradaptasi beberapa menit dengan lokasi pantai tempat mereka akan dilepas. Untuk menemukan arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta menggunakan topografi garis horison di sekitarnya.  Begitu mencapai laut tukik menggunakan berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk petunjuk yang diperlukan untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. ( Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009).
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan (Yusuf, 2000). Tukik yang dilepas ke laut  tidak lansung menuju air laut. Tukik – tukik akan beradabtasi beberapa menit dengan lokasi pantai tempat mereka akan dilepas. Tingkah laku yang dilakukan tukik ketika menuju laut adalah bergerak menelusuri sekitar pantai dan mendekati bunyi hempasan ombak, kemudian tukikakan bergerak menuju laut dan akhirnya hanyut bersama arus air laut.

g.      Pencegahan dan Penanggulangan Penyakit
Pencegahan terhadap penyakir sangat penting untuk diperhatikan. Untuk mencegah timbulnya penyakit itu perlu dilakukan beberapa hal seperti pergantian air minimal 1 hari sekali, membersihkan bak pemeriharaan dari lumut dan sisa kotoran tukik serta membersihkan karapas tukik penyu sisik dengan menggunakan spon yang lembur dan sikat lumut yang ada pada karapas hingga bersih. Selain itu, pemberian pakan harus diberikan secara optimal. Jika pemberian pakan kurang, maka sifat kanibalisme tukik akan muncul sehingga tukik yang dalam kondisi fisik yang lemah akan digigit dan dimakan oleh tukik yang kuat. Jika telah terjadi demikian, maka luka dari hasil gigitan  tukik tersebut akan tumbuh jamur dan menbuat kondisi tubuh tukik akan melemah dan mati.





















KESIMPULAN DAN SARAN

1.      Kesimpulan
Kesimpulan dari semua rangkuman data selama praktek kerja lapang di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman ialah :
a.                   Relokasi sarang dilakukan agar telur mudah di control  guna menghindari gangguan yang mungkin terjadi oleh binatang predator seperti anjing dan lain-lain,
b.                  Sarang penetasan digali dengan kedalaman yang sama dengan sarang alaminya yaitu antara 35 – 40 cm dengan diameter 15 – 25 cm.
c.                   Selama ± 50 hari telur penyu sisik diinkubasi, maka telur penyu tersebut akan menetas.
d.                  HS (Hatcing Success) pada penetasan telur penyu sisik di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman tergolong tinggi yaitu 94 %
e.                   Kelansungan hidup atau Syrvival Rate (SR) tukik penyu sisik (Eretmochelys imbricata) di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman tergolong baik yaitu diatas 85 %.
f.                   Tukik di pelihara pada bak pembesaran selama ± kurang lebih 2 – 5 hari sampai tukik tumbuh benar – benar sehat dan kuat untuk dapat berenang serta menyelam.
g.                  Pelepasan tukik kelaut dilakukan pada saat senja hari yaitu pada pukul 5 – 7 malam, ketika udara mulai dingin yang gelap.


2.      Saran
Perlu adanya pertimbangan bagi stakeholder terkait tentang konservasi penyu di luar habitat asli untuk mengatasi penurunan populasi penyu. Perlu adanya peningkatan rehabilitas pantai peteluran dikawasan konservasi perairan dan pulau – pulau kecil khususnya di Kota Pariaman untuk menghindari penurunan populasi penyu yang bertelur.
Perlunya dilakukan penyuluhan terhadap habitat tempat penyu dan kegiatan pelestarian harus lebih ditingkatkan tidak hanya melibatkan pemerintah dan instansiinstansi yang terkait tetapi juga harus melibatkan masyarakat disekitar kawasan pantai pariaman.