Kamis, 31 Oktober 2013

PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAERAH



PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAERAH

Oleh: Ir. Tatag Wiranto, MURP



PENDAHULUAN

Pembangunan di  Indonesia di  masa yang lalu ternyata seringkali berpijak pada paradigma pembangunan yang menekankan pada efisiensi untuk mendukung pertumbuhan   ekonomi   secara   agregat.   Paradigma   yang   dikembangkan  dari pemikiran Kuznet (1966) tersebut menyatakan bahwa bagi negara sedang berkembang yang pendapatan rendah dapat tumbuh perekonomiannya, dengan cara terlebih dahulu mengorbankan aspek pemerataannya (trade off). Oleh karena pada tahap awal ekonomi nasional didominasi oleh pemerintah, maka wajar apabila pemerintah lebih memusatkan perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi, yang pada umumnya berlokasi di kawasan darat dan perkotaan. Wilayah pesisir danlaut belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional.  Kondisi demikian akan mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin melebar karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki potensi sumberdaya pesisir dan laut yang cukup berlimpah.

Selain itu, sebagai akibat dilaksanakannya pendekatan pembangunan yang sentralistik, telah menyebabkan terabaikannya aspirasi dan kreativitas masyarakat lokal, yang berimplikasi pada pembangunan yang tidak sesuai (compatible) dengan kebutuhan masyarakat lokal. Para pengambil keputusan di pusat lebih menyukai mendukung pendirian industri manufaktur di kawasan urban yang tidak menimbulkan multiplier pada perekonomian lokal. Penetesan pembangunan seperti yang diharapkan, dalam prakteknya, tidak pernah terjadi. Secara substansial selama ini Indonesia, sadar atau tidak, telah mendulang akumulasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah (misleading policy) sehingga krisis ekonomi yang terjadi sulit mengalami pemulihan secara cepat (economic recovery). Proses pemulihan ekonomi nasional akan semakin bertambah berat jika ternyata Indonesia juga mengalami kesulitan dalam mengejawantah pada arus utama globalisasi (perdagangan bebas).
Di  era  perdagangan  bebas  seperti  sekarang,  tantangan  yang  dihadapi  oleh Indonesia ke depan akan semakin besar. Diperkirakan, negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia dalam jangka pendek justru akan menerima kerugian, karena hanya negara-negara maju yang paling siap melakukan perdagangan bebas. Kata kunci untuk dapat mengambil manfaat dari keterlibatan dalam ekonomi global adalah   daya   saing,   produktivitas   dan   efisiensi.   Untuk   itu,   dalam   konteks perdagangan bebas (WTO), diperlukan strategi jitu  agar  perekonomian nasional


1   Disampaikan pada Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September 2004
2 Deputi Menteri Negara PPN /Kepala Bappenas Bidang Otonomi Daerah dan Pengembangan
Regional, Bappenas

cepat pulih dan mampu mengambil manfaat dari skenario integrasi ekonomi dunia tersebut. Karenanya diperlukan sinthesis untuk memproduksi paradigma baru pembangunan yang  diarahkan pada  terjadinya pemerataan (equity), mendukung pertumbuhan  (efficiency)  dan  keberlanjutan  (sustainability)  dalam  pembangunan ekonomi.  Setidaknya, ada  2  (dua)  hal  pokok  dalam  konstruksi paradigma baru pembangunan tersebut meliputi :

1.  Pembangunan lebih diorientasikan pada pembangunan spasial pada tingkat wilayah dan lokal, dengan lebih mengedepankan peningkatan kapasitas ekonomi lokal (local economic development). dan

2.  Dengan diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun
1999, maka kekuasaan atau peran pemerintah pusat akan dibatasi hanya pada penyediaan barang-barang publik (public goods), infrastruktur ekonomi, manajemen makro ekonomi, hubungan luar negeri dan pencetakan uang. Dengan demikian, pemerintah tidak banyak lagi melakukan intervensi langsung ke dalam ekonomi, terutama pada bidang-bidang kegiatan pihak swasta. Sedangkan pada bidang-bidang kegiatan dari pihak swasta (private sector)    yang tidak memiliki insentif ekonomi, barulah pemerintah melakukannya.

Alokasi  sumberdaya  dapat  berlangsung  efisien  manakala  kebijakan  pemerintah hanya terbatas pada kebijakan tertentu saja, misalnya penentuan target pemerataan melalui transfer, perpajakan dan subsidi. Sedang proses ekonomi selanjutnya diserahkan pada bekerjanya mekanisme pasar. Untuk mendukung terjadinya proses tersebut, diperlukan pengaturan kelembagaan (institutional arrangement) berupa penegasan hak-hak masyarakat lokal (local property right), khususnya penegasan atas akses masyarakat terhadap sumberdaya ekonomi.



KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL

Salah  satu  kebijakan  pembangunan yang  dipandang  tepat  dan  strategis  dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas adalah kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Kebijakan pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi masyarakat lokal (local competence). Pada wilayah pesisir, sektor perikanan mejadi sektor utama yang menjadi gantungan hidup masyarakatnya.

Kebijakan pengembangan ekonomi lokal dalam kaitannya dengan era perdagangan bebas ini dinyatakan secara jelas dalam GBHN TAP MPR No. IV / MPR / 1999, yang menjelaskan bahwa salah satu arah kebijakan di  bidang ekonomi adalah untuk mengembangkan perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun keunggulan kompetitif dan produk unggulan di setiap daerah, termasuk perikanan dan kelautan. Melihat kandungan strategis yang termuat dalam kebijakan pengembangan ekonomi lokal tersebut, sudah selayaknya apabila kebijakan  ini  mendapat  prioritas  sebagai  satu  dasar  kebijakan  pembangunan

nasional.   Pelaksanaan   otonomi   daerah   pada   awal   tahun   2001   merupakan momentum   bagi   dimulainuya   proses   implementasi   kebijakan   pengembangan ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (Kabupaten/Kota) untuk mengeluarkan dan mengembangkan kemampuannya dalam memobilisasi serta mengelola produksi, alokasi dan distribusi berbagai sumberdaya yang dimilikinya menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya saing komparatif maupun kompetitif, baik untuk pasaran lokal, regional, nasional bahkan internasional. Keseluruhan hal tersebut pada dasarnya merupakan konsep dan strategi dari kebijakan pengembangan ekonomi lokal.

Dalam strateginya, pengembangan ekonomi lokal diletakkan atas dasar prakarsa/ inisiatif  serta  kekhasan  daerah  yang  bersangkutan  (endegenous  development) melalui pemanfaatan sumberdaya lokal (SDM, kelembagaan, Teknologi, SDA dan modal) yang di perkokoh dengan ikatan modal sosial. Sasaran utama yang ingin dicapai dalam pengembangan ekonomi lokal ini dalam jangka pendek misalnya, terjadinya peningkatan pendapatan nelayan (masyarakat pesisir), meningkatnya produktivitas SDM, dan munculnya keberdayaan masyarakat (empowerment). Selain itu, dalam jangka panjang, pengembangan ekonomi lokal diharapkan dapat mengurangi jumlah kemiskinan absolut, berkurangnya angka pengangguran (unemployment), mempersempit jurang kesenjangan ekonomi (antar penduduk dan antar  wilayah), serta  peningkatan investasi. Meskipun demikian, sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari pengembangan ekonomi lokal tersebut akan dapat dicapai oleh daerah, jika seluruh elemen penentu (stakeholders) kecenderungan daerah  mampu  beradaptasi  dengan  perubahan  lingkungan  yang  cepat,  serta memiliki komitmen untuk menyatukan persepsi, visi dan langkah yang sama. Hanya dengan cara demikian percepatan pembangunan dan pengembangan segenap potensi-potensi sumberdaya yang ada dapat digiring menjadi kekuatan penuh dalam membangun kemandirian dan keswadayaan agar tercipta kesejahteraan masyarakat (Common Welfare).



TANTANGAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH

Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan yang besar  ini disertai dengan tanggung jawab yang besar pula.  Dalam penjelasan UU No.22/1999 ini  dinyatakan bahwa tanggung jawab yang  dimaksud adalah berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan  pemerataan. Berangkat dari pemahaman demikian, maka untuk menghadapi berbagai persoalan seperti kemiskinan, pemerintah daerah tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah pusat sebagaimana yang  selama ini  berlangsung. Di  dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung jawab untuk secara aktif dan secara langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif kebijakan operasional yang bersifat pro masyarakat miskin.

Pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan dari konsep desentralisasi pada dasarnya dimaksudkan agar  pemerintah daerah dapat  lebih  meningkatkan daya guna dan hasil guna dalam menyelenggarakan pemerintahan, melaksanakan pembangunan,  serta  memberikan  pelayanan  kepada  masyarakat  secara  lebih optimal sesuai dengan karakteristik yang ada di wilayahnya. Otonomi daerah merupakan suatu upaya, kesempatan, dan dukungan bagi daerah untuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Dalam UU No 22 tahun 1999 dijelaskan bahwa pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam pemberian wewenang yang luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional melalui pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta dilandasi prinsip- prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.

Otonomi menjadi keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan kewenangan pemerintah di bidang tertentu yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah.   Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah  perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak  dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban yang harus dipikul oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan, serta pemeliharaan hubungan yang serasi antara pusat dan daerah serta antar daerah.

Disamping peluang-peluang yang muncul dari pelaksanaan otonomi daerah, terdapat sejumlah   tuntutan   dan   tantangan   yang   harus   diantisipasi   agar   tujuan   dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai dengan baik. Diantara tantangan yang dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri. Dalam implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan dan instrumen baru yang dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif.  Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik secara langsung maupun tidak langsung, pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama  pada  kelompok masyarakat yang  rentan  terhadap  adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil. Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat perhatian lebih besar, karena  hal  tersebut  dapat  menghambat  tercapainya  tujuan  penerapan  otonomi daerah itu sendiri.

Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus.  Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah.   Proses lebih lanjut dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses  pemerintahan  di  daerah.     Pelibatan  masyarakat  akan  mengeliminasi beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:

1.  Pelibatan masyarakat akan memperkecil faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan.  Ini dapat terjadi karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat dilibatkan secara intensif.

2.  Pelibatan  masyarakat  akan  meringankan  beban  pemerintah  daerah  (dengan artian             pertanggungjawaban   kepada   publik)   dalam   mengimplementasikan kebijakan daerahnya.  Ini disebabkan karena masyarakat merasa sebagai salah satu bagian dalam menentukan keputusan tersebut.  Dengan begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.

3.  Pelibatan masyarakat akan mencegah proses yang tidak fair dalam implementasi kebijakan daerah, khususnya berkaitan dengan upaya menciptakan tata pemerintahan daerah yang baik.

Perubahan-perubahan  yang  berkaitan  dengan  pelaksanaan  otonomi  daerah  ini sangat boleh jadi  menimbulkan cultural shock”, dan  belum menemukan bentuk
/format pelaksanaan otonomi seperti yang diharapkan. Hal ini berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban daerah yang dinyatakan dalam penjelasan UU No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.

Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi yang berkenaan dengan hal tersebut.  Namun dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat.  Pelimpahan kewenangan dalam otonomi cenderung dianggap sebagai pelimpahan kedaulatan.   Pada kondisi ini, otonomi lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan dari pusat ke daerah.   Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru menjadi tidak atau belum terpikirkan.

Kemandirian daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD).  PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan daerah dalam membina penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah.   Keleluasaan memunculkan inisiatif dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan sumber penerimaan dari PAD sekarang ini cenderung dilihat sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan   dalam   pelaksanaan   otonomi.      Disamping   itu,   hal   ini   dapat menimbulkan pula ego kedaerahan yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting yaitu pembangunan daerah yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya. Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di  daerah seperti ini  cenderung mengabaikan tujuan otonomi yang sebenarnya.



PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT

Pembangunan wilayah pesisir selama ini masih dilihat seperti pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan.  Hal ini tidak sepenuhnya benar, karena wilayah pesisir menurut RUU Pesisir memiliki beberapa karakteristik yang khas, yaitu:

1. Wilayah pertemuan antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan udara, sehingga bentuk wilayah pesisir merupakan hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek di atas;

2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia laut, dan unggas untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;

3. Wilayahnya sempit, tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat organik penting dalam rantai makanan dan kehidupan darat dan laut;

4. Memiliki gradian perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan yang sempit akan dijumpai kondisi ekologi yang berlainan;

5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.

Perbedaan yang mendasar secara ekologis sangat berpengaruh pada aktivitas masyarakatnya.   Kerentanan perubahan secara ekologis berpengaruh secara signifikan terhadap usaha perekonomian yang ada di wilayah tersebut, karena ketergantungan yang tinggi dari aktivitas ekonomi masyarakat dengan sumberdaya ekologis  tersebut.  Jika  sifat  kerentanan  wilayah  tidak  diperhatikan,  maka  akan muncul konflik antara kepentingan memanfaatkan sumber daya pesisir untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan ekonomi dalam jangka pendek dengan kebutuhan generasi akan datang terhadap sumber daya  pesisir. Dalam banyak kasus, pendekatan pembangungan ekonomi yang parsial, tidak kondusif dalam mendorong pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu. Kegiatan yang parsial hanya memperhatikan kepentingan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang konflik pemanfaatan dan kewenangan. Dari berbagai studi, terdapat kecenderungan bahwa hampir semua kawasan pesisir  Indonesia mengalami konflik  tersebut. Jika  konflik  ini  dibiarkan berlangsung   terus   akan   mengurangi   keinginan   pihak   yang   bertikai   untuk melestarikan sumberdayanya.



Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut

Di era otonomi daerah, pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu sumberdaya potensial kerap pula memunculkan beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat, pembangunan ekonomi (yang berkait dengan kemiskinan), serta eksploitasi sumberdaya alam tanpa memperhatikan kelestariannya.

Permasalahan umum yang banyak terjadi dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan daerah. Kondisi ini terjadi antara lain karena:

     Instansi dinas (kelautan dan perikanan) yang ada ditingkat kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam baik dalam struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada intensitas komunikasi antara instansi yang berada di pusat dan daerah.

     Seringkali instansi dinas di kabupaten dan kota telah memiliki tugas pokok dan  fungsi organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan propinsi.

     UU No.22/1999 belum dapat berjalan selaras dengan UU Perikanan dan sebagian peraturan daerah lainnya, sehingga kewenangan dalam dinas kabupaten/kota belum efektif.

Permasalahan dalam pembangunan ekonomi di daerah menyangkut pada kebijakan ekonomi makro, kesenjangan, dan kemiskinan. Kebijakan ekonomi makro selama ini (terutama yang berada di luar pulau Jawa) lebih difokuskan pada usaha ekstraksi hasil bumi (sumberdaya alam) seperti pemberian konsesi pada perusahaan- perusahaan asing dan berskala besar.   Ini berarti kurangnya perhatian terhadap usaha masyarkat lokal yang cenderung berskala kecil. Kesenjangan yang terjadi antar   kelompok  pendapatan  antara   daerah   perkotaan  dan   perdesaan  telah memburuk  sejak  dibukanya  perekonomian  perdesaan  ke  arah  ekonomi  pasar, karena hanya mereka yang memiliki akses terhadap modal, kredit, informasi dan kekuasaan yang dapat mengambil manfaat dari program-program pembangunan. Dalam konteks wilayah pesisir dan laut, keuntungan ekonomi daari pemanfaatan sumberdaya pesisir  dan  laut  baru  dinikmati  oleh  kelompok  masyarakat tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha perikanan, namun belum oleh masyarakat pesisir dan nelayan. Selain kesenjangan dalam pendapatan, kesenjangan dalam kepemilikan justru menjadi permasalahan yang lebih serius.  Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak tertentu mengarah pada de-aksesasi oleh masyarakat.  Misalnya saja dalam usaha penangkaapan, hanya yang memiliki kapal lebih besar dan teknologi yang lebih maju yang dapat menguasai sumberdaya laut. Nelayan kecil dengan teknologi sederhana menjadi terpinggirkan dan kalah sehingga semakin sulit dalam berusaha.    Kondisi seperti ini yang terus berlanjut mengakibatkan permasalahan baru yaitu kemiskinan.   Nelayan kecil semakin sulit untuk bergerak keluar dari kemiskinan yang menjerat mereka.

Eksploitasi sumberdaya laut dan pesisir menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan daerah.  Di satu sisi, upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat dan daerah untuk menggerakkan roda perekonomian, namun di sisi lain sumberdaya perikanan   semakin   berkurang   karena   dieksploitasi   secara   berlebihan   serta mengalami kerusakan.   Upaya pengelolaan yang selama ini dilakukan belum menunjukkan hasil yang positif.



Pembangunan Ekonomi Masyarakat

Ketertinggalan  pembangunan  wilayah  pesisir  dan  laut  sebagai  sumber  daya ekonomi,  merupakan  indikator  bahwa  sektor  kelautan  selama  35  tahun  belum menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi  pada pertumbuhan

ekonomi.  Begitu sumberdaya alam lainnya (seperti hutan dan minyak bumi) sudah mengarah pada beban pembangunan karena sulit diperbaharui (un-renewable) sebagai akibat pengelolaan yang kurang bijaksana, maka sumberdaya pesisir dan laut  merupakan pilihan  berikutnya karena  keberlimpahan sumberdaya yang  ada serta belum dikelola secara optimal dan profesional.

Agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama, maka dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir harus memperhatikan tiga hal utama, yaitu:

1.  Apapun persepsi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka sebagai sumber ekonomi baru yang kompetitif haruslah bermuara pada pengurangan kemiskinan masyarakat.

2.  Fokus kegiatan pengelolaan sumberdaya peisisr dan laut sebagai sumber ekonomi         baru   harus   berangkat   pada   pemikiran   untuk   meningkatkan pembangunan kegiatan ekonomi yang berbasis pada sumber daya lokal yang ada.

3.  Sedini mungkin membuat rambu-rambu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melibatkan masyarakat.

Dalam menghadapi peluang dan tantangan pembangunan dalam era globalisasi, maka pembangunan perikanan serta pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut harus mampu mentransformasikan berbagai usaha perikanan masyarakat ke arah bisnis dan  swasembada  secara  menyeluruh  dan  terpadu.     Pendekatan  menyeluruh (holistik) dan terpadu ini berarti melihat usaha perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri dari beberapa komponen yang saling terkait, yaitu:

     Sumberdaya perikanan, yaitu sumberdaya alam (baik yang berada di laut, pesisir, perairan tawar), SDM, dan sumberdaya buatan.

     Sarana   dan   Prasarana,   meliputi   perencanaan  dan   penyediaan prasarana perikanan seperti pelabuhan, pabrik es, cold storage, infrastruktur pada sentra industri, pengadaan dan penyaluran sarana produksi (seperti BBM, benih, mesin dan alat tangkap), serta sistem informasi tentang teknologi baru dan sistem pengelolaan usaha yang efisien.

     Produksi perikanan, meliputi usaha budidaya dan penangkapan yang menyangkut usaha perikanan skala kecil maupun besar.

     Pengolahan Hasil perikanan, meliputi kegiatan pengolahan sederhana yang dilakukan oleh petani dan nelayan tradisional hingga pengolahan dengan teknologi maju di paberik yang mencakup penanganan pasca panen sampai produk siap dipasarkan.

     Pemasaran   hasil   perikanan,   meliputi   kegiatan   distribusi   dan pemasaran hasil-hasil perikanan atau olahannya untuk memenuhi kebutuhanpasar.  Termasuk pula di dalamnya kegiatan pemantauan distribusi informasi pasar (market development) dan pengembangan produk (product development)

     Pembinaan, mencakup kegiatan pembinaan institusi, iklim usaha yang kondusif, iklim   poleksosbud   yang   mendukung,   peraturan   dan perundangan yang kondusif, pembinaan SDM, serta kepemimpinan yang baik agar kegiatan yang dilaksanakan dapat dicapai seefektif mungkin.



PENUTUP

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-sama dari seluruh stakeholder yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah.  Otonomi daerah telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut.  Ini penting karena Indonesia merupakan negara kepulauan yang  sangat luas  dan  banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu banyaknya masyarakat yangmenmggantungkan kehidupan dannafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut.  Dengan demikian, antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai masalah yang dihadapi sebagian besar masyarakat.

Pembangunan perekonomian daerah, terutama yang didasarkan pada sumberdaya wilayah pesisir dan laut  dapat dilakukan dengan lebih baik dan memperhatikan kelestarian lingkungan, sehingga didapat konsep pembangunan yang berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan mereka.    Pembangunan yang berkelanjutan juga mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan masyarakat   serta   antar   generasi   karena   pembangunan   berkelanjutan   ini berwawasan lingkungan.   Wilayah pesisir dan laut dengan segala karakteristiknya menjadi satu potensi yang patut dijaga dan dikembangkan sebagai sumber perekonomian daerah, sehingga dapat digunakan untuk ksejahteraan masyarakat.


*****