PEMBANGUNAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT DALAM KERANGKA PEMBANGUNAN PEREKONOMIAN DAERAH
Oleh: Ir. Tatag
Wiranto, MURP
PENDAHULUAN
Pembangunan di Indonesia
di masa yang lalu ternyata
seringkali berpijak pada
paradigma pembangunan yang menekankan
pada efisiensi untuk mendukung pertumbuhan ekonomi
secara
agregat. Paradigma yang dikembangkan dari pemikiran Kuznet (1966) tersebut menyatakan
bahwa bagi negara sedang
berkembang yang pendapatan rendah dapat tumbuh perekonomiannya, dengan
cara terlebih dahulu mengorbankan aspek pemerataannya (trade off).
Oleh karena pada tahap
awal ekonomi nasional
didominasi oleh pemerintah, maka wajar apabila pemerintah lebih memusatkan
perhatiannya untuk mengalokasikan sumberdaya
pembangunan yang ada kepada sektor-sektor atau wilayah-wilayah yang berpotensi besar dalam menyumbang kepada pertumbuhan ekonomi,
yang pada umumnya
berlokasi di kawasan darat dan perkotaan.
Wilayah pesisir danlaut
belum menjadi prioritas utama bagi pertumbuhan ekonomi secara nasional. Kondisi demikian akan
mendorong timbulnya disparitas antar wilayah yang semakin melebar
karena Indonesia yang merupakan negara kepulauan memiliki
potensi sumberdaya
pesisir dan laut yang cukup berlimpah.
Selain itu, sebagai akibat dilaksanakannya pendekatan pembangunan yang sentralistik, telah menyebabkan
terabaikannya aspirasi dan kreativitas masyarakat lokal, yang berimplikasi pada pembangunan yang tidak sesuai (compatible) dengan kebutuhan masyarakat lokal. Para pengambil keputusan di pusat lebih menyukai
mendukung pendirian industri manufaktur di kawasan urban yang
tidak menimbulkan multiplier pada perekonomian lokal. Penetesan pembangunan seperti yang diharapkan, dalam prakteknya, tidak pernah terjadi. Secara substansial selama ini Indonesia,
sadar atau tidak, telah mendulang
akumulasi dari kebijakan-kebijakan pembangunan yang salah arah (misleading policy) sehingga krisis ekonomi yang
terjadi sulit mengalami pemulihan secara cepat (economic recovery).
Proses pemulihan ekonomi nasional akan semakin bertambah berat jika ternyata
Indonesia juga mengalami kesulitan
dalam mengejawantah pada arus utama globalisasi (perdagangan bebas).
Di
era
perdagangan bebas seperti
sekarang, tantangan yang dihadapi oleh
Indonesia ke depan akan semakin besar. Diperkirakan, negara-negara sedang berkembang seperti Indonesia dalam
jangka pendek justru akan menerima
kerugian, karena hanya negara-negara maju yang paling siap melakukan
perdagangan bebas. Kata kunci untuk dapat mengambil
manfaat dari keterlibatan dalam
ekonomi global adalah daya
saing,
produktivitas dan efisiensi. Untuk itu,
dalam konteks perdagangan bebas (WTO), diperlukan strategi jitu agar
perekonomian nasional
1 Disampaikan
pada Sosialisasi Nasional
Program MFCDP, 22 September 2004
2 Deputi
Menteri Negara PPN /Kepala Bappenas
Bidang Otonomi
Daerah
dan Pengembangan
Regional, Bappenas
cepat pulih dan mampu mengambil
manfaat dari skenario integrasi ekonomi dunia tersebut. Karenanya diperlukan
sinthesis untuk memproduksi paradigma baru pembangunan yang diarahkan pada terjadinya
pemerataan (equity), mendukung pertumbuhan (efficiency)
dan
keberlanjutan (sustainability) dalam pembangunan ekonomi. Setidaknya,
ada 2 (dua)
hal
pokok
dalam
konstruksi
paradigma baru pembangunan tersebut meliputi :
1.
Pembangunan lebih diorientasikan pada pembangunan spasial
pada tingkat wilayah dan lokal, dengan lebih mengedepankan
peningkatan kapasitas ekonomi lokal (local economic development). dan
2. Dengan
diberlakukannya otonomi daerah sesuai dengan UU No. 22 Tahun
1999, maka kekuasaan
atau peran pemerintah pusat akan dibatasi
hanya pada penyediaan
barang-barang publik (public goods), infrastruktur ekonomi, manajemen makro ekonomi,
hubungan luar negeri dan pencetakan uang. Dengan demikian,
pemerintah tidak banyak lagi melakukan
intervensi langsung ke dalam ekonomi,
terutama pada bidang-bidang kegiatan pihak
swasta. Sedangkan pada bidang-bidang
kegiatan dari pihak swasta (private sector) yang tidak memiliki
insentif ekonomi, barulah pemerintah
melakukannya.
Alokasi sumberdaya dapat berlangsung
efisien manakala
kebijakan
pemerintah
hanya terbatas pada kebijakan
tertentu saja, misalnya penentuan target pemerataan melalui transfer,
perpajakan dan subsidi. Sedang proses ekonomi selanjutnya diserahkan pada bekerjanya mekanisme pasar. Untuk mendukung terjadinya proses tersebut, diperlukan pengaturan
kelembagaan (institutional arrangement)
berupa penegasan hak-hak masyarakat
lokal (local property right), khususnya penegasan
atas akses masyarakat terhadap
sumberdaya ekonomi.
KEBIJAKAN PEMBANGUNAN REGIONAL
Salah satu
kebijakan pembangunan
yang dipandang tepat dan strategis dalam rangka pembangunan wilayah
di Indonesia sekaligus mengantisipasi dimulainya era perdagangan bebas adalah kebijakan pengembangan
ekonomi lokal. Kebijakan pengembangan ekonomi
lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan pembangunan
di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang menjadi prioritas
unggulan yang diusahakan dalam aktivitas ekonomi
masyarakat lokal (local competence). Pada wilayah pesisir, sektor perikanan
mejadi sektor utama yang menjadi gantungan hidup masyarakatnya.
Kebijakan pengembangan
ekonomi lokal dalam kaitannya dengan era perdagangan bebas ini dinyatakan secara
jelas dalam GBHN TAP MPR No. IV / MPR / 1999, yang menjelaskan bahwa salah satu arah kebijakan di
bidang ekonomi adalah
untuk mengembangkan
perekonomian yang berorientasi global sesuai dengan kemajuan teknologi dengan membangun
keunggulan kompetitif dan produk unggulan di setiap daerah, termasuk perikanan dan kelautan. Melihat kandungan strategis yang termuat dalam
kebijakan pengembangan ekonomi lokal tersebut,
sudah selayaknya apabila kebijakan ini mendapat
prioritas
sebagai
satu
dasar
kebijakan
pembangunan
nasional. Pelaksanaan otonomi
daerah
pada
awal
tahun
2001
merupakan momentum bagi
dimulainuya proses
implementasi kebijakan
pengembangan
ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan
implikasi bagi daerah (Kabupaten/Kota) untuk mengeluarkan dan mengembangkan kemampuannya dalam
memobilisasi serta mengelola produksi, alokasi dan distribusi berbagai
sumberdaya yang dimilikinya menjadi produk unggulan yang memiliki
keunggulan daya saing komparatif maupun kompetitif, baik untuk pasaran lokal, regional, nasional bahkan internasional. Keseluruhan hal tersebut
pada dasarnya merupakan
konsep dan strategi dari kebijakan pengembangan ekonomi
lokal.
Dalam strateginya, pengembangan ekonomi lokal diletakkan atas dasar prakarsa/ inisiatif serta
kekhasan
daerah
yang
bersangkutan
(endegenous development) melalui pemanfaatan sumberdaya
lokal (SDM, kelembagaan, Teknologi, SDA dan modal) yang di perkokoh
dengan ikatan modal sosial. Sasaran utama yang ingin
dicapai dalam pengembangan ekonomi lokal ini dalam jangka pendek misalnya, terjadinya peningkatan pendapatan nelayan (masyarakat pesisir), meningkatnya
produktivitas SDM, dan munculnya keberdayaan masyarakat (empowerment).
Selain itu, dalam jangka panjang, pengembangan ekonomi lokal diharapkan
dapat mengurangi jumlah kemiskinan absolut, berkurangnya angka pengangguran (unemployment),
mempersempit jurang kesenjangan ekonomi (antar penduduk
dan antar wilayah), serta
peningkatan investasi. Meskipun
demikian, sasaran jangka pendek dan jangka panjang dari pengembangan
ekonomi lokal tersebut akan dapat dicapai oleh daerah, jika seluruh
elemen penentu (stakeholders)
kecenderungan daerah mampu beradaptasi dengan
perubahan
lingkungan yang cepat, serta memiliki komitmen untuk menyatukan persepsi, visi dan langkah yang sama. Hanya
dengan cara demikian percepatan pembangunan dan pengembangan
segenap potensi-potensi sumberdaya yang ada dapat digiring menjadi kekuatan
penuh dalam membangun kemandirian dan keswadayaan
agar tercipta kesejahteraan masyarakat (Common Welfare).
TANTANGAN DALAM ERA OTONOMI DAERAH
Di era otonomi daerah dan desentralisasi sekarang ini, sebagian besar kewenangan pemerintahan dilimpahkan kepada daerah. Pelimpahan kewenangan
yang besar ini disertai dengan tanggung
jawab yang besar pula.
Dalam penjelasan UU No.22/1999
ini dinyatakan bahwa
tanggung jawab yang
dimaksud adalah
berupa kewajiban daerah untuk meningkatkan
pelayanan dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan dan
pemerataan. Berangkat
dari pemahaman demikian, maka untuk menghadapi
berbagai persoalan seperti
kemiskinan, pemerintah daerah
tidak bisa lagi menggantungkan penanggulangannya kepada pemerintah
pusat sebagaimana
yang selama ini berlangsung. Di dalam kewenangan otonomi yang dipunyai daerah, melekat pula tanggung
jawab untuk secara aktif dan secara
langsung mengupayakan pengentasan kemiskinan di daerah
bersangkutan. Dengan kata lain, pemerintah daerah dituntut untuk memiliki inisiatif
kebijakan operasional yang bersifat
pro masyarakat miskin.
Pelaksanaan otonomi daerah sebagai perwujudan
dari konsep desentralisasi pada dasarnya dimaksudkan agar
pemerintah daerah dapat
lebih meningkatkan daya
guna dan hasil guna dalam menyelenggarakan
pemerintahan, melaksanakan pembangunan, serta memberikan pelayanan kepada
masyarakat
secara
lebih optimal sesuai dengan karakteristik yang ada di wilayahnya. Otonomi daerah
merupakan suatu upaya, kesempatan, dan dukungan bagi daerah untuk dapat tumbuh dan berkembang secara mandiri. Dalam UU No 22 tahun 1999 dijelaskan
bahwa pelaksanaan otonomi daerah diwujudkan dalam pemberian wewenang yang
luas, nyata, dan bertanggung jawab kepada pemerintah daerah secara proporsional melalui pengaturan, pembagian, pemanfaatan sumber daya nasional yang
berkeadilan serta perimbangan keuangan pusat dan daerah, serta dilandasi prinsip-
prinsip demokrasi, peran serta masyarakat, pemerataan, keadilan, serta memperhatikan potensi dan keanekaragaman daerah.
Otonomi menjadi
keleluasaan daerah untuk menyelenggarakan
kewenangan pemerintah di bidang tertentu
yang secara nyata ada dan diperlukan serta hidup, tumbuh, dan berkembang di daerah. Sedangkan otonomi yang bertanggung jawab adalah
perwujudan pertanggungjawaban sebagai konsekuensi pemberian hak dan kewenangan daerah dalam wujud tugas dan kewajiban
yang harus dipikul
oleh daerah dalam mencapai tujuan pemberian otonomi, yaitu peningkatan pelayanan dan kesejahteraan masyarakat yang semakin baik, pengembangan kehidupan demokrasi,
keadilan, dan pemerataan, serta
pemeliharaan hubungan
yang serasi antara pusat
dan daerah serta antar daerah.
Disamping peluang-peluang yang muncul
dari pelaksanaan otonomi
daerah, terdapat
sejumlah tuntutan dan
tantangan yang
harus diantisipasi agar tujuan dari pelaksanaan otonomi daerah dapat tercapai
dengan baik. Diantara tantangan yang
dihadapi oleh daerah adalah tuntutan untuk mengurangi ketergantungan anggaran terhadap pemerintah pusat, pemberian pelayanan publik yang dapat menjangkau
seluruh kelompok masyarakat, pelibatan masyarakat dalam proses pembangunan
dan peningkatan otonomi masyarakat lokal dalam mengurus dirinya sendiri. Dalam
implementasinya, penetapan dan pelaksanaan peraturan
dan instrumen baru yang
dibuat oleh pemerintah daerah dapat menimbulkan dampak, baik berupa dampak positif maupun dampak negatif.
Dampak yang ditimbulkan akan berpengaruh baik
secara langsung maupun tidak langsung,
pada semua segmen dan lapisan masyarakat terutama pada kelompok masyarakat yang rentan terhadap adanya perubahan kebijakan, yaitu masyarakat miskin dan kelompok usaha kecil.
Kemungkinan munculnya dampak negatif perlu mendapat
perhatian lebih besar, karena hal tersebut dapat menghambat tercapainya tujuan penerapan otonomi daerah itu sendiri.
Hubungan antara otonomi daerah dengan desentralisasi, demokrasi dan tata
pemerintahan yang baik memang masih merupakan diskursus. Banyak pengamat mendukung bahwa dengan dilaksanakannya otonomi daerah maka akan mampu menciptakan demokrasi atau pun tata pemerintahan yang baik di daerah.
Proses lebih lanjut
dari aspek ini adalah dilibatkannya semua potensi kemasyarakatan dalam proses pemerintahan di daerah.
Pelibatan masyarakat
akan
mengeliminasi
beberapa faktor yang tidak diinginkan, yaitu:
1.
Pelibatan masyarakat akan memperkecil
faktor resistensi masyarakat terhadap kebijakan daerah yang telah diputuskan. Ini dapat terjadi
karena sejak proses inisiasi, adopsi, hingga pengambilan keputusan, masyarakat
dilibatkan secara intensif.
2. Pelibatan masyarakat akan meringankan beban
pemerintah
daerah
(dengan
artian pertanggungjawaban kepada publik)
dalam
mengimplementasikan kebijakan daerahnya.
Ini disebabkan
karena masyarakat merasa sebagai salah
satu bagian dalam menentukan
keputusan tersebut.
Dengan
begitu, masyarakat tidak dengan serta merta menyalahkan pemerintah daerah bila suatu saat ada beberapa hal yang dipandang salah.
3.
Pelibatan masyarakat akan mencegah proses
yang tidak fair dalam
implementasi kebijakan daerah,
khususnya berkaitan
dengan upaya menciptakan tata
pemerintahan daerah yang baik.
Perubahan-perubahan yang berkaitan dengan pelaksanaan
otonomi
daerah
ini
sangat boleh jadi menimbulkan “cultural shock”, dan belum menemukan bentuk
/format pelaksanaan otonomi seperti
yang diharapkan. Hal ini
berkaitan pula dengan tanggung jawab dan kewajiban
daerah yang dinyatakan
dalam penjelasan UU
No.22/1999, yaitu untuk meningkatkan pelayanan
dan kesejahteraan masyarakat, pengembangan kehidupan demokrasi, keadilan, dan pemerataan.
Berkaitan dengan kewenangan dan tanggung dalam pelaksanaan
otonomi daerah, maka pemerintah daerah berupaya dengan membuat dan melaksanakan berbagai kebijakan dan regulasi
yang berkenaan dengan hal tersebut. Namun
dengan belum adanya bentuk yang jelas dalam operasionalisasi
otonomi tersebut, maka sering terdapat bias dalam hasil yang di dapat. Pelimpahan kewenangan dalam otonomi
cenderung dianggap sebagai
pelimpahan kedaulatan. Pada
kondisi ini, otonomi
lebih dipahami sebagai bentuk redistribusi sumber ekonomi/keuangan
dari pusat ke daerah. Hal ini terutama bagi daerah-daerah yang kaya akan sumber ekonomi. Dengan begitu, konsep otonomi yang seharusnya bermuara pada pelayanan publik yang lebih baik, justru
menjadi tidak atau belum terpikirkan.
Kemandirian
daerah sering diukur dari kemampuan daerah dalam meningkatkan
pendapatan asli daerah (PAD).
PAD juga menjadi cerminan keikutsertaan
daerah dalam membina penyelenggaraan
pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan kemasyarakatan di daerah. Keleluasaan memunculkan inisiatif
dan kreativitas pemerintah daerah dalam mencari dan mengoptimalkan
sumber penerimaan dari PAD
sekarang ini cenderung dilihat
sebagai sumber prestasi bagi pemerintah daerah bersangkutan dalam
pelaksanaan otonomi. Disamping itu,
hal ini
dapat
menimbulkan pula ego kedaerahan
yang hanya berjuang demi peningkatan PAD sehingga melupakan kepentingan lain yang lebih penting
yaitu pembangunan daerah
yang membawa kesejahteraan bagi masyarakatnya.
Euphoria reformasi dalam pelaksanaan pemerintahan di
daerah seperti ini
cenderung mengabaikan tujuan
otonomi yang sebenarnya.
PEMBANGUNAN WILAYAH
PESISIR DAN LAUT
Pembangunan wilayah
pesisir selama ini masih dilihat seperti pembangunan wilayah terestrial lainnya dengan kondisi yang analogi dengan wilayah perdesaan. Hal ini tidak
sepenuhnya benar, karena wilayah
pesisir menurut RUU Pesisir memiliki
beberapa karakteristik yang khas,
yaitu:
1. Wilayah pertemuan
antara berbagai aspek kehidupan yang ada di darat, laut dan
udara, sehingga bentuk wilayah
pesisir merupakan
hasil keseimbangan dinamis dari proses pelapukan (weathering) dan pembangunan ketiga aspek
di atas;
2. Berfungsi sebagai habitat dari berbagai jenis ikan, mamalia
laut, dan unggas
untuk tempat pembesaran, pemijahan, dan mencari makan;
3. Wilayahnya sempit,
tetapi memiliki tingkat kesuburan yang tinggi dan sumber zat
organik penting dalam rantai
makanan dan kehidupan darat dan laut;
4. Memiliki gradian
perubahan sifat ekologi yang tajam dan pada kawasan
yang sempit akan dijumpai
kondisi ekologi yang berlainan;
5. Tempat bertemunya berbagai kepentingan
pembangunan baik pembangunan sektoral maupun regional serta mempunyai dimensi internasional.
Perbedaan
yang mendasar secara ekologis sangat berpengaruh pada aktivitas
masyarakatnya. Kerentanan perubahan secara ekologis berpengaruh secara signifikan terhadap
usaha perekonomian yang ada di wilayah tersebut,
karena ketergantungan yang
tinggi dari aktivitas
ekonomi masyarakat dengan sumberdaya
ekologis tersebut. Jika sifat
kerentanan wilayah tidak diperhatikan, maka akan muncul konflik antara kepentingan memanfaatkan
sumber daya pesisir untuk pemenuhan kebutuhan hidup dan pembangunan
ekonomi dalam jangka pendek
dengan kebutuhan generasi
akan datang terhadap sumber
daya pesisir. Dalam banyak kasus, pendekatan pembangungan
ekonomi yang parsial, tidak kondusif
dalam mendorong pengelolaan wilayah pesisir
secara terpadu. Kegiatan yang parsial
hanya memperhatikan kepentingan sektornya dan mengabaikan akibat yang timbul
dari atau terhadap sektor lain, sehingga berkembang
konflik pemanfaatan dan
kewenangan. Dari berbagai
studi, terdapat kecenderungan bahwa
hampir semua kawasan pesisir
Indonesia mengalami
konflik tersebut. Jika konflik
ini dibiarkan berlangsung terus
akan
mengurangi keinginan pihak
yang
bertikai untuk melestarikan sumberdayanya.
Permasalahan Pembangunan Wilayah Pesisir dan Laut
Di era otonomi daerah, pembangunan wilayah pesisir dan laut sebagai salah satu
sumberdaya potensial kerap pula memunculkan beberapa permasalahan, antara lain hubungan antara daerah dan pusat, pembangunan
ekonomi (yang berkait dengan
kemiskinan), serta eksploitasi sumberdaya alam
tanpa memperhatikan kelestariannya.
Permasalahan umum yang banyak terjadi
dalam hubungan antara pemerintah pusat dan daerah adalah kurang selarasnya pemenuhan kepentingan pusat dan daerah.
Kondisi ini terjadi antara
lain karena:
• Instansi dinas (kelautan dan perikanan) yang ada ditingkat kabupaten/kota pada era otonomi daerah ini sangat beragam
baik dalam struktur organisasi dan kewenangannya. Perubahan ini berpengaruh pada intensitas komunikasi
antara instansi yang berada
di pusat dan daerah.
• Seringkali instansi dinas di kabupaten dan kota telah memiliki tugas pokok
dan fungsi organisasi, namun belum memiliki kewenangan teknis karena belum ada penyerahan kewenangan dari pusat dan propinsi.
• UU No.22/1999 belum dapat berjalan
selaras dengan UU Perikanan dan sebagian peraturan daerah lainnya,
sehingga kewenangan dalam dinas kabupaten/kota belum efektif.
Permasalahan dalam pembangunan ekonomi di daerah menyangkut
pada kebijakan ekonomi makro, kesenjangan, dan kemiskinan. Kebijakan
ekonomi makro selama ini
(terutama yang berada di luar pulau Jawa) lebih difokuskan
pada usaha ekstraksi hasil bumi (sumberdaya alam) seperti pemberian
konsesi pada perusahaan- perusahaan asing dan berskala
besar. Ini berarti kurangnya perhatian
terhadap usaha masyarkat lokal yang cenderung berskala
kecil. Kesenjangan yang terjadi
antar kelompok
pendapatan
antara
daerah
perkotaan dan
perdesaan
telah memburuk sejak dibukanya
perekonomian perdesaan
ke
arah
ekonomi
pasar,
karena hanya mereka yang memiliki akses terhadap modal, kredit, informasi
dan kekuasaan yang dapat mengambil manfaat dari program-program
pembangunan. Dalam konteks wilayah pesisir dan laut, keuntungan ekonomi daari pemanfaatan sumberdaya pesisir dan
laut
baru
dinikmati
oleh
kelompok masyarakat
tertentu seperti juragan kapal dan pengusaha
perikanan, namun belum oleh masyarakat pesisir
dan nelayan. Selain kesenjangan dalam pendapatan, kesenjangan dalam kepemilikan justru menjadi permasalahan yang lebih serius.
Akumulasi sumberdaya pada pihak-pihak tertentu mengarah pada de-aksesasi oleh masyarakat. Misalnya
saja dalam usaha penangkaapan, hanya
yang memiliki kapal lebih besar dan
teknologi yang lebih maju yang dapat menguasai sumberdaya laut. Nelayan kecil dengan teknologi sederhana menjadi terpinggirkan dan kalah sehingga semakin
sulit dalam berusaha. Kondisi seperti ini yang terus berlanjut
mengakibatkan permasalahan baru yaitu
kemiskinan. Nelayan kecil semakin
sulit untuk bergerak
keluar dari kemiskinan yang menjerat
mereka.
Eksploitasi sumberdaya
laut dan pesisir menjadi salah satu permasalahan dalam pembangunan daerah. Di satu sisi, upaya tersebut dilakukan oleh masyarakat dan daerah untuk menggerakkan roda
perekonomian, namun di sisi lain sumberdaya
perikanan semakin berkurang karena
dieksploitasi secara
berlebihan serta
mengalami kerusakan. Upaya pengelolaan yang selama ini dilakukan belum
menunjukkan hasil yang positif.
Pembangunan Ekonomi
Masyarakat
Ketertinggalan pembangunan
wilayah pesisir dan laut sebagai
sumber
daya
ekonomi, merupakan indikator bahwa sektor kelautan selama
35
tahun
belum
menjadi sektor prioritas dalam pembangunan yang berorientasi pada pertumbuhan
ekonomi.
Begitu sumberdaya alam lainnya (seperti hutan dan minyak bumi) sudah
mengarah pada beban pembangunan karena sulit diperbaharui
(un-renewable) sebagai akibat pengelolaan yang kurang bijaksana, maka sumberdaya pesisir dan
laut merupakan pilihan
berikutnya karena keberlimpahan sumberdaya yang ada
serta belum dikelola secara optimal
dan profesional.
Agar tidak terjebak pada kesalahan yang sama, maka dalam pengelolaan sumberdaya laut dan pesisir harus memperhatikan tiga hal utama, yaitu:
1. Apapun persepsi
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut, maka sebagai sumber
ekonomi baru yang kompetitif haruslah bermuara pada pengurangan
kemiskinan masyarakat.
2. Fokus
kegiatan pengelolaan
sumberdaya peisisr dan laut sebagai
sumber ekonomi baru harus
berangkat pada
pemikiran untuk
meningkatkan pembangunan kegiatan
ekonomi yang berbasis
pada sumber daya lokal yang ada.
3.
Sedini mungkin membuat rambu-rambu pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut dengan melibatkan masyarakat.
Dalam menghadapi peluang dan tantangan
pembangunan dalam era globalisasi,
maka pembangunan perikanan serta
pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut harus
mampu mentransformasikan berbagai usaha perikanan
masyarakat ke arah bisnis
dan swasembada
secara
menyeluruh
dan
terpadu. Pendekatan menyeluruh (holistik) dan terpadu ini berarti melihat
usaha perikanan sebagai suatu sistem yang terdiri
dari beberapa komponen
yang saling terkait,
yaitu:
• Sumberdaya perikanan, yaitu sumberdaya alam (baik yang berada di laut,
pesisir, perairan tawar), SDM, dan sumberdaya buatan.
• Sarana dan
Prasarana, meliputi perencanaan dan penyediaan prasarana perikanan seperti pelabuhan,
pabrik es, cold storage,
infrastruktur pada sentra industri,
pengadaan dan penyaluran sarana produksi (seperti BBM, benih, mesin dan alat tangkap),
serta sistem informasi tentang teknologi
baru dan sistem pengelolaan
usaha yang efisien.
• Produksi perikanan, meliputi usaha budidaya
dan penangkapan yang menyangkut usaha perikanan skala kecil maupun besar.
• Pengolahan Hasil perikanan, meliputi
kegiatan pengolahan sederhana yang dilakukan oleh petani dan nelayan tradisional hingga
pengolahan dengan teknologi maju di paberik yang mencakup penanganan pasca panen sampai produk siap dipasarkan.
• Pemasaran hasil
perikanan, meliputi kegiatan distribusi dan pemasaran hasil-hasil perikanan atau olahannya untuk memenuhi
kebutuhanpasar. Termasuk
pula di dalamnya
kegiatan pemantauan distribusi informasi pasar (market development) dan pengembangan produk (product development)
• Pembinaan, mencakup kegiatan pembinaan institusi, iklim usaha yang kondusif, iklim poleksosbud yang
mendukung, peraturan dan perundangan yang kondusif,
pembinaan SDM, serta kepemimpinan yang baik agar kegiatan yang dilaksanakan dapat dicapai seefektif
mungkin.
PENUTUP
Pengelolaan sumberdaya
pesisir dan laut dalam kerangka pengembangan wilayah, akan lebih efektif bila dilaksanakan secara bersama-sama dari seluruh stakeholder
yang terkait baik di tingkat pusat maupun daerah. Otonomi daerah
telah membuka peluang desentralisasi pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut. Ini penting karena
Indonesia merupakan negara
kepulauan yang
sangat luas dan banyak memiliki daerah terisolasi, miskin alat transportasi dan komunikasi, masih lemah sistem administrasi pemerintahannya, masih kurangnya kapasitas SDM, serta begitu
banyaknya masyarakat yangmenmggantungkan kehidupan dannafkahnya pada sumberdaya pesisir dan laut.
Dengan demikian,
antara pemerintah dan masyarakat akan semakin dekat dan terpetakan berbagai
masalah yang dihadapi sebagian besar
masyarakat.
Pembangunan perekonomian daerah, terutama
yang didasarkan pada sumberdaya
wilayah pesisir dan laut
dapat dilakukan dengan lebih
baik dan memperhatikan
kelestarian lingkungan, sehingga
didapat konsep pembangunan yang
berkelanjutan yaitu pembangunan yang berusaha memenuhi
kebutuhan sekarang tanpa mengurangi kemampuan generasi yang akan datang untuk memenuhi kebutuhan
mereka. Pembangunan yang berkelanjutan juga mengusahakan agar hasil pembangunan terbagi secara merata dan adil pada berbagai kelompok dan lapisan
masyarakat serta antar
generasi karena
pembangunan berkelanjutan ini berwawasan lingkungan. Wilayah pesisir dan laut dengan segala karakteristiknya
menjadi satu potensi yang patut dijaga dan dikembangkan sebagai sumber
perekonomian daerah, sehingga
dapat digunakan untuk ksejahteraan masyarakat.
*****