PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Penyu merupakan reptil yang hidup di
laut serta mampu bermigrasi dalam jarak yang jauh di sepanjang kawasan Samudera
Hindia, Samudra Pasifik dan Asia Tenggara. Keberadaannya telah
lama terancam, baik dari alam maupun kegiatan manusia
yang membahayakan populasinya secara langsung
maupun tidak langsung.
Dari tujuh jenis penyu di dunia,
tercatat enam jenis penyu yang hidup di
perairan Indonesia yaitu penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea),
penyu pipih (Natator depressus),
penyu belimbing (Dermochelys coriacea),
serta penyu tempayan (Caretta caretta). Jumlah ini sebenarnya masih menjadi perdebatan
karena Nuitja (1992) menyebutkan hanya lima
jenis yang ditemukan, dimana (Caretta
caretta) dinyatakan tidak ada. Namun demikian,
beberapa peneliti mengungkapkan bahwa (Caretta
caretta) memiliki daerah jelajah yang meliputi
Indonesia (Charuchinda et al. 2002 dalam
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Pergeseran fungsi lahan yang menyebabkan
kerusakan habitat pantai dan ruaya pakan, kematian penyu akibat kegiatan perikanan, pengelolaan
teknik-teknik konservasi yang tidak memadai,
perubahan iklim, penyakit, pengambilan penyu dan telurnya serta ancaman
predator merupakan faktor-faktor penyebab
penurunan populasi penyu. Selain itu,
karakteristik siklus hidup penyu sangat
panjang (terutama penyu hijau, penyu sisik dan penyu tempayan) dan untuk
mencapai kondisi “stabil” (kelimpahan populasi
konstan selama 5 tahun terakhir) dapat memakan waktu
cukup lama sekitar 30–40 tahun, maka sudah seharusnya pelestarian terhadap
satwa langka ini menjadi hal yang mendesak. (Direktorat
Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Kondisi inilah yang menyebabkan semua
jenis penyu di Indonesia diberikan status dilindungi
oleh negara sebagaimana tertuang dalam PP Nomor 7 Tahun
1999 tentang Pengawetan Jenis-jenis Tumbuhan
dan Satwa yang Dilindungi. Secara internasional,
penyu masuk ke dalam daftar merah (red
list) di IUCN dan Appendix I CITES yang berarti
bahwa keberadaannya di alam telah terancam punah sehingga segala bentuk
pemanfaatan dan peredarannya harus mendapat
perhatian secara serius. (Nuitja, 2006 dalam
Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009).
Sejauh ini berbagai kebijakan terkait pengelolaan
penyu sudah cukup banyak dilakukan, baik oleh Departemen Kehutanan, Kementerian Lingkungan
Hidup, maupun Departemen Kelautan
dan Perikanan. Bahkan pemerintah secara terus-menerus
mengembangkan kebijakan-kebijakan yang sesuai
dalam upaya pengelolaan Konservasi Penyu dengan melakukan kerjasama regional
seperti IOSEA-CMP, SSME dan BSSE. Munculnya UU No. 31
tahun 2004 tentang perikanan dan PP 60 tahun
2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan membawa nuansa baru dalam pengelolaan
Konservasi Penyu. (Direktorat Konservasi dan Taman
Nasional Laut, 2009).
Akan tetapi pemberian status
perlindungan saja jelas tidak cukup untuk memulihkan atau setidaknya
mempertahankan populasi penyu di Indonesia.
Pengelolaan konservasi yang komprehensif, sistematis dan terukur mesti
segera dilaksanakan, diantaranya dengan cara memberikan pengetahuan teknis
tentang pengelolaan Konservasi Penyu bagi pihak-pihak terkait khususnya
pelaksana di lapang.
Oleh sebab itu, pada kegiatan Praktek Kerja Lapang
(PKL) ini Penulis ingin mengetahui cara penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), di UPT. Konservasi
Penyu Kota Pariaman.
2.
Tujuan
Praktek Kerja Lapang
Tujuan Praktek Kerja Lapang ini adalah :
a) Untuk
mengetahui tehnik atau cara penangkaran
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), yang di
lakukan pada UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman.
3. Manfaat
Praktek Kerja Lapang
Manfaat Praktek Kerja Lapang ini adalah :
a) Dapat
menambah wawasan dan informasi tentang upaya penangkaran penyu secara langsung
dan membandingkan antara teori dan di lapangan.
b) Dapat
mengetahui pentingnya tata cara penangkaran penyu guna melestarikan satwa
langka yang terancam punah di wilayah Negara Republik Indonesia atau antar area
di dalam wilayah negara Republik
Indonesia.
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Klasifikasi Penyu
Sisik (Eretmochelys imbricate)
Taksonomi penyu sisik (Eretmochelys imbricate) menurut Jatu
(2007), adalah:
Kingdom
: Animalia
PHylum : Chordata
Class : Sauropsida
Ordo : Testudines
Sub ordo : Cryptodira
Superfamily : Chelonioidea
Family
: Cheloniidae
Spesies :
Eretmochelys
Imbricate
Gambar 1. Penyu Sisik (Eretmochelys
Imbricate)
Nama ilmiah dari Penyu Sisik adalah Eretmochelys
imbricata pada daerah pedesaan sering kali disebut penyu karang atau penyu
genting. Disebut penyu karang karena binatang ini hidup pada kawasan terumbu
karang dan disebut penyu genting karena susunan karapasnya yang letaknya nyaris
bersusun susun seperti susunan genting. ( Konservasi Biota Terancam Punah,
2011).
Penyu sisik bersifat karnifora, dengan makanan
utama sponge, karang lunak, dan kerang-kerangan. Penyu sisik mudah dibedakan
dengan jenis penyu lain dengan melihat skutnya yang tebal dan tumpang tindih
yang menutupi karapasnya. Karakteristik skutnya yang tumpang tindih pada penyu
sisik yang indah menyebabkan penyu ini di eksploitasi secara besar-besaran
untuk ornament (Dermawan, 2003 dalam
Konservasi Biota Terancam Punah, 2011).
2. Morfologi
Ciri morfologi penyu sisik bentuk
karapas seperti jantung (elongate) meruncing di punggung, kepalanya
sempit serta karapasnya berwarna cokelat dengan beberapa variasi terang
mengkilat (Direktorat Konservasi dan Taman Nasional Laut, 2009). Penyu sisik
dewasa berbentuk oval/ elips, bagian pinggiran karapas bergerigi, kecuali pada
tukik dan hewan yang sangat tua (Nuitja 1992 dalam Direktorat Konservasi
dan Taman Nasional Laut, 2009).
Karapas penyu sisik memiliki empat
pasang sisik rusuk (coastal scute) yang tersusun tumpang tindih seperti genting,
lima vertebral scute yang menyatu
pada tulang belakang, di sekeliling tempurungnya terdapat lempeng-lempeng kecil
yang disebut marginal scute berjumlah 13 yang saling tumpang tindih dan
bergerigi. Sedangkan pada penyu muda biasanya bewarna hitam atau hitam
kecoklatan dengan warna coklat terang pada
keel, pinggir cangkang dan sirip dan leher atas. (Yusuf, 2000).
Penyu sisik sangat mudah dibedakan
dengan jenis penyu lainnya dengan melihat skutnya yang
tebal dan tumpang tindih, yang menutupi karapasnya. Karapasnya sendiri berbentuk elip, dan ditutupi oleh lima
skut sentral, empat pasang skut lateral, dan
11 pasang skut marginal. Skut dorsalnya lebih tebal disbanding penyu Hijau, dan berwama cerah. Karakteristik skut inilah
yang menyebabkan penyu ini dieksploitasi
secara besar-besaran untuk dijadikan ornamen, Warna skut sangat bervariasi dari regio satu ke regio lainnya. Skutnya
memiliki corak garis-garis radia yang terdiri atas empat warna dasar yaitu
hitam, coklat, merah, dan kuning. Lebar karapasnya
adalah 70-79% dari total panjang karapas (diukur lurus – Scute Carapace Length). Jika
pada penyu Hijau terdapat sepasang sisik prefrontalis, maka pada penyu Sisik terdapat dua pasang. (Konservasi Biota
Terancam Punah, 2011).
Untuk dapat membedakan jenis kelamin
penyu dewasa dapat dilihat pada Gambar 3,
dimana penyu jantan dewasa memiliki ekor yang lebih panjang dari pada ekor penyu betina. Selain itu hal lain yang membedakannya
adalah ukuran kepala penyu jantan lebih kecil dari penyu betina. Hampir dapat
dipastikan, penyu yang naik pada malam hari ke pantai adalah penyu betina
(Nuitja, 1992 dalam Konservasi Biota
Terancam Punah, 2011).
3. Habitat
Habitat penyu adalah laut yang airnya bersih dan dingin
seperti halnya pada laut Samudera. Sedangkan daerah yang disukai penyu adalah
laut dalam. Untuk mencari makan biasanya penyu pergi ke perairan yang dangkal
dengan sedikit batu-batuan serta kedalaman air tidak melebihi 200 meter karena
di daerah ini banyak terdapat rumput-rumputan atau jenis ganggang yang
merupakan makanan pokok dari berbagai jenis penyu. Wilayah perairan yang
berbatu selain sebagai tempat beristirahat atau berlindung juga terdapat ikan
kecil, udang, moluska, dan spon. Kebanyakan penyu bersifat omnivora, meskipun pada
beberapa jenis ada yang bersifat herbivora dan karnivora (Kartika, 2008 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI,( 2009).
Berdasarkan habitat, penyu terbagi dalam dua jenis yaitu
habitat laut dan darat. Pada habitat laut, semua jenis penyu pada umumnya
sangat menyukai hidup pada bagian-bagian laut yang dangkal dan terdapat
tumbuh-tumbuhan seperti yang terdapat di daerah terumbu karang serta ditumbuhi
oleh rumput laut dan padang lamun. Sedangkan pada habitat darat, penyu naik ke
darat untuk bertelur dan selama telur berada pada sarangnya didalam pasir serta saat telur baru menetas menjadi tukik sebelum
turun ke laut. Tiap jenis penyu menyukai tipe habitat yang berbeda-beda di laut
maupun di darat yang mungkin disebabkan oleh jenis makanan yang disukainya.
Sehingga keberadaan masing-masing jenis penyu berbeda-beda di daerahnya
(Kartika, 2008 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI,( 2009).
4. Habitat
Bertelur Penyu
Pasir merupakan tempat yang mutlak
diperlukan untuk penyu bertelur. Habitat
peneluran bagi setiap penyu memiliki kekhasan. Umumnya tempat pilihan bertelur
merupakan pantai yang luas dan landai
serta terletak di atas bagian pantai. Rata-rata kemiringan 30 derajat di pantai bagian atas. (Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI,
2009)
Jenis tanaman atau formasi vegetasi
pantai yang biasanya terdapat di sepanjang daerah peneluran
penyu secara umum dari daerah pantai ke arah daratan
adalah sebagai berikut.
a) Tanaman Pioner
b) Zonasi jenis-jenis tanaman yang terdiri dari Hibiscus tiliaceus,
Gynura procumbens, dan lainnya
c) Zonasi jenis-jenis tanaman seperti Hernandia peltata,
Terminalia catappa, Cycas rumpHii, dan lainnya
d) Zonasi terdalam dari
formasi hutan pantai CallopHyllum inopHyllum, Canavalia
ensiformis, Cynodon dactylon, dan lainnya.
5. Reproduksi
Reproduksi penyu adalah proses regenerasi yang dilakukan penyu dewasa
jantan dan betina melalui tahapan perkawinan, peneluran sampai menghasilkan
generasi baru (tukik). Tahapan reproduksi penyu dapat dijelaskan sebagai
berikut:
a. Perkawinan
Penyu melakukan perkawinan dengan cara penyu jantan bertengger di atas
punggung penyu betina (Gambar 2). Tidak banyak regenerasi yang dihasilkan seekor penyu,
dari ratusan butir telur yang dikeluarkan oleh seekor penyu betina, paling
banyak 1–3% yang berhasil mencapai dewasa.
Penyu melakukan perkawinan di dalam air laut, terkecuali pada kasus penyu
tempayan yang akan melakukan perkawinan meski dalam penangkaran apabila telah
tiba masa kawin. Pada waktu akan kawin, alat kelamin penyu jantan yang berbentuk
ekor akan memanjang ke belakang sambil berenang mengikuti kemana penyu betina
berenang. Penyu jantan kemudian naik ke punggung betina untuk melakukan
perkawinan. Selama perkawinan berlangsung, penyu jantan menggunakan kuku kaki
depan untuk menjepit tubuh penyu betina agar tidak mudah lepas. Kedua penyu
yang sedang kawin tersebut timbul tenggelam di
permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih (Dapertemen
Kelautan dan Perikanan RI, 2009).
permukaan air dalam waktu cukup lama, bisa mencapai 6 jam lebih (Dapertemen
Kelautan dan Perikanan RI, 2009).
Gambar 2. Perkawinan Penyu
Untuk membedakan
kelamin penyu dapat dilakukan dengan cara ”sexual dimorp
Hism”, yaitu membedakan ukuran ekor dan kepala penyu sebagai
berikut
(Tabel 1 dan
Gambar 3).
Tabel 1. Perbedaan Jenis Kelamin Penyu
Gambar 3.
Perbedaan Jenis Kelamin Penyu : kiri jantan ; kanan betina
Sumber : ( Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Menurut Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI (2009), pertumbuhan embrio
sangat dipengaruhi oleh suhu. Embrio akan tumbuh optimal pada kisaran suhu
antara 24–33 °C, dan akan mati apabila di luar kisaran suhu tersebut. Kondisi
lingkungan yang sangat mempengaruhi pertumbuhan embrio sampai penetasan, antara
lain:
·
Suhu
pasir. Semakin tinggi suhu pasir, maka telur akan lebih cepat menetas.
·
Kandungan
air dalam pasir. Diameter telur sangat dipengaruhi oleh kandungan air dalam
pasir. Makin banyak penyerapan air oleh telur dari pasir menyebabkan
pertumbuhan embrio makin besar yang berakibat diameter telur menjadi bertambah
besar. Sebaliknya, pasir yang kering akan menyerap air dari telur karena
kandungan garam dalam pasir lebih tinggi. Akibatnya embrio dalam telur tidak
akan berkembang dan mati.
·
Kandungan
oksigen. Oksigen sangat dibutuhkan untuk pertumbuhan embrio. Air hujan yang
menyerap ke dalam sarang ternyata dapat menghalangi penyerapan oksigen oleh
telur, akibatnya embrio akan mati.
Embrio dalam telur akan tumbuh menjadi tukik mirip dengan induknya, masa
inkubasi yang dilewati kurang lebih 2 bulan. Tahapan proses penetasan hingga
tukik keluar dari sarang menurut Dapartemen Kelautan dan Perikanan RI (2009)
yaitu disajikan pada gambar dibawah ini :
Gambar 4.
Proses Penetasan
Keterangan:
1.
Telur
dalam sarang
2.
Tukik
memecahkan cangkang telur dengan menggunakan paruh (caruncle) yang
terdapat di ujung rahang atas.
3.
Tukik
mulai aktif dan berusaha keluar dari sarang setelah selaput embrio terlepas
4.
Tukik
bersama-sama dengan saudaranya berusaha menembus pasir untuk mencapai ke permukaan
Induk penyu tidak
mengerami telur-telurnya tetapi diserahkan pada alam untuk melakukannya.
Telur-telur tersebut akan menetas secara alami. Suhu inkubasi pada telur penyu
agar embrio tumbuh dengan baik memiliki kisaran antara 24-33 °C. masa inkubasi
tergantung pada, suhu pasir disekitar sarang. Makin tinggi suhu pasir makin
cepat pula telur-telur tersebut akan menetas. Sarang yang terdapat di area
terbuka dengan sinar matahari yang selalu mengenai permukaan pasir akan lebih
cepat menetas dibandingkan sarang yang terletak di daerah/bawah tumbuhan dengan
intensitas cahaya yang minim. Rata-rata telur akan menetas setelah 60 hari.
Disamping mempengaruhi persentase jenis kelamin tukik yang akan lahir. Dengan
kata lain jenis kelamin penyu yang akan lahir ditentukan oleh suhu inkubasi.
Apabila 24 °C atau kurang maka 100% tukik yang lahir adalah jantan, sedangkan
bila suhu inkubasi 32 °C atau lebih maka 100% tukik yang akan lahir adalah
betina (Prihanta, 2007).
b. Makanan
Habitat penyu adalah laut yang airnya bersih dan dingin
seperti halnya pada laut Samudera. Sedangkan daerah yang disukai penyu adalah
laut dalam. Untuk mencari makan biasanya penyu pergi ke perairan yang dangkal
dengan sedikit batu-batuan serta kedalaman air tidak melebihi 200 meter karena
di daerah ini banyak terdapat rumput-rumputan atau jenis ganggang yang
merupakan makanan pokok dari berbagai jenis penyu. Wilayah perairan yang
berbatu selain sebagai tempat beristirahat atau berlindung juga terdapat ikan
kecil, udang, moluska, dan spon. Kebanyakan penyu bersifat omnivora, meskipun
pada beberapa jenis ada yang bersifat herbivora dan karnivora (Kartika, 2008).
c.
Hama dan Penyakit
Keberadaan hama merupakan salah satu hal yang
mempengaruhi keberhasilan penetasan telur penyu. hama tersebut yaitu seperti
ketam, biawak, semut, babi, musang yang memangsa
telur penyu di dalam sarang Departemen Kelautan dan
Perikanan RI,(
2009)
Banyak ditemui juga beruang dan rubah sebagai predator
telur penyu. Sementara itu tukik yang baru keluar dari pasir menjadi incaran
kepiting, burung elang dan gagak. Tukik yang selamat sampai kelaut menjadi
mangsa ikan hiu maupun burung camar. Disamping itu ada pula induk penyu yang
diserang oleh ikan hiu, atau ketika induk penyu naik untuk bertelur, diganggu
oleh anjing yang mengakibatkan tidak sedikit induk penyu yang mati karena
gangguan tersebut (Yusuf, 2000 dalam Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009
)
Penyakit yang sering menyerang penyu yaitu jenis parasit
yang menyerupai kerang-kerangan atau biasa kita sebut teritip yang hampir mirip
dengan jenis teritip yang biasanya menempel di lambung kapal. Warna teritip ini
putih dengan bagian lunak didalamnya yang lama kelamaan dapat mengikis kerapas
penyu sehingga berlubang. Parasit ini biasanya ditemukan di kerapas namun tidak
menutup kemungkinan untuk tumbuh di bagian tubuh lain karena juga ditemukan
parasit jenis ini dapat tumbuh di kepala penyu maupun di flipper penyu.
Selain parasit jenis teritip tersebut,
juga ditemukan parasit sejenis makhluk lunak seperti lintah yang biasanya
terdapat pada leher penyu terutama pada bagian tubuh penyu yang lunak. Hewan
ini sifat hidupnya cenderung berkoloni sehingga jika dibiarkan makin lama akan makin banyak dan akan menyakiti
penyu tersebut (Grie,2010).
6.
Siklus Hidup Penyu
Seluruh spesies penyu memiliki siklus hidup yang sama. Penyu
mempunyai pertumbuhan yang sangat lambat dan memerlukan berpuluh-puluh tahun untuk
mencapai usia reproduksi. Penyu dewasa hidup bertahun-tahun di satu tempat sebelum bermigrasi
untuk kawin dengan menempuh jarak yang jauh
(hingga 3000 km) dari ruaya pakan ke pantai peneluran. Pada umur yang belum terlalu diketahui
(sekitar 20-50 tahun) penyu jantan dan betina bermigrasi
ke daerah peneluran di sekitar daerah kelahirannya.
Perkawinan penyu dewasa terjadi di lepas
pantai satu atau dua bulan sebelum peneluran pertama di musim tersebut. Baik penyu jantan maupun betina
memiliki beberapa pasangan kawin. Penyu betina
menyimpan sperma penyu jantan di dalam tubuhnya untuk membuahi tiga hingga
tujuh kumpulan telur (nantinya menjadi 3-7
sarang) yang akan ditelurkan pada musim tersebut. Penyu jantan biasanya kembali ke ruaya pakannya sesudah penyu
betina menyelesaikan kegiatan bertelur dua
mingguan di pantai. (
Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Penyu betina akan keluar dari laut jika
telah siap untuk bertelur, dengan
menggunakan sirip depannya menyeret tubuhnya ke pantai peneluran. Penyu betina
membuat kubangan atau lubang badan (body pit) dengan sirip depannya lalu
menggali lubang untuk sarang sedalam 30-60 cm
dengan sirip belakang. jika pasirnya terlalu kering dan tidak cocok untuk
bertelur, si penyu akan berpindah ke lokasi lain.
Penyu mempunyai sifat kembali ke rumah (”Strong
homing instinct”) yang kuat yaitu migrasi antara lokasi mencari makan (Feeding grounds) dengan lokasi bertelur (breeding
ground). Migrasi ini dapat berubah
akibat berbagai alasan, misalnya perubahan
iklim, kelangkaan pakan di alam, banyaknya predator termasuk gangguan manusia, dan terjadi bencana alam yang hebat di daerah
peneluran, misalnya tsunami. (Nuitja, 1986 dalam
Departemen Kelautan
dan Perikanan RI, 2009). Siklus hidup
penyu secara umum dapat dilihat pada skema pada
Gambar 5.
Gambar 5. Skema siklus hidup penyu
7. Status dan Pelestarian Penyu
Kompleksitas
isu penyu berdampak pada pengaturan pengelolaan dan konservasinya, dan
kenyataannya tidak tak satu aturanpun yang mampu menjawab kompleksitas permasalahan
ini. Seluruh aturan mesti dipergunakan
secara bersamaan. Aturan-aturan baru mesti dibangun untuk mengisi kesenjangan
yang masih tersisa. (Departemen
Kelautan dan Perikanan RI, 2009)
Luasnya
cakupan siklus hidup penyu mengharuskan adanya pengaturan yang meliputi daratan
(pantai), wilayah perairan pesisir (hingga 12 mil), zona ekonomi ekslusif
sampai di lautan lepas. Sifat-sifat migrasinya yang cenderung lintas negara
mewajibkan adanya pengaturan bilateral, tri nasional bahkan regional.
Kompleksitas dampak sosial-ekonomi yang muncul pada setiap keputusan pengelolaannya
memandatkan adanya partisipasi aktif dan progresif dari berbagai pihak. Hal
terakhirini, barangkali adalah salah satu faktor penting yang mendasari
keterlibatan lembaga–lembaga keagamaan serta komunitas Adat dalam upaya penyelamatan
populasi penyu. (Departemen Kelautan
dan Perikanan RI, 2009)
METODE PRAKTEK
1. Waktu dan Tempat
Praktek Kerja Lapang
telah dilaksanakan pada
17 Juni 2015 sampai 17 juli 2015 di kawasan Simpang Apar Kecamatan Pariaman Utara Kota
Pariaman Provinsi Sumatera Barat, yang merupakan area perlindungan penyu atau Konservasi
Penyu.
2. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam Praktek Kerja Lapangan ini adalah telur, tukik, penyu,
ikan rucah dan, methylen blue 250 g. Sedangkan alat yang digunakan selama praktek kerja
lapangan ini adalah pH
meter untuk mengukur keasaman air laut dan perairan kolam, termometer untuk
mengukur suhu, hand
refraktometer untuk mengukur salinitas, meteran untuk mengukur kedalaman sarang, sekop kecil
untuk menggali sarang inkubasi telur penyu, ember/baskom untuk wadah pakan,
styrofoam sebagai wadah tukik setelah menetas, spon untuk mengelap tukik, bros
untuk menggosok kerapas penyu yang berlumut, kamera digital untuk dokumentasi selama di
lapangan, dan notebook sebagai pengolah data, serta alat tulis dan penunjang
data lainnya.
3. Metode Praktek lapangan
Metode
yang digunakan
dalam praktek kerja lapangan ini adalah
metode langsung turun ke lapangan yaitu ikut serta dalam kegiatan penangkaran penyu
sisik (Eretmochelys imbricate) yang
terdapat di UPT. Konservasi Penyu Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat.
Data yang dikumpulkan meliputi data primer dan data
sekunder. Data primer diperoleh dari praktek langsung dan wawancara pembimbing
lapangan, pegawai dan teknisi. Sedangkan, data sekunder di peroleh dari kantor UPT.
Konservasi Penyu Kota Pariaman Provinsi Sumatera Barat, dan instansi terkait
yang berhubungan dengan data yang diperlukan, serta ditambah dengan literatur
yang mendukung kejelasan mengenai data yang didapatkan tersebut.
4. Prosedur Kerja
a. Penetasan Telur Penyu
Pemindahan telur ke sarang baru (semi alami) penting dilakukan dalam kegiatan pelestarian penyu dan penetasan telur ini merupakan tahap awal dalam proses penangkaran. Pemindahan telur penyu dimaksud untuk penghindari pemangsaan telur penyu dari predator seperti biawak, ular, babi hutan, anjing dan juga manusia. Diharapkan dengan adanya relokasi telur ke tempat penetasan mampu meningkatkan daya tetas telur penyu tersebut di bandingkan di alam lansung . Adapun yang dilakukan tersebut adalah sebagai berikut :
1. Ambil
pasir dengan menggunakan sekop, kemudian masukan pasir tersebut kedalam
Styrofoam yang sudah di isi telur. Pasir yang di ambil adalah pasir yang tidak
terkena pasang tertinggi.
2. Bawa
telur yang siap di relokasi keruang inkubasi, kemudian buar sarang baru dengan
menggali pasir. Kedalaman sarang ± 35 – 40 cm dengan diameter 15 - 25 cm.
3. Masukan
telur yang di peroleh dari masyarakat satu per satu kedalam sarang semi alami
kemudian telur di timbun dengan pasir secara perlahan lahan.
4. Beri
papan tanda sarang baru yang berisi daerah peneluran, tanggal peneluran, jumlah
telur, tanggal perkiraan menetas, dan jenis spesies.
5. Catat
data yang telah diperoleh.
·
Tanggal tukik menetas
·
Jumlah tukik yang hidup
·
Jumlah tukik yang mati
·
Jumlah cangkang telur
·
Jumlah tukik yang mati dalam proses
penetasan
·
Tulur yang tidak dapat di buahi sehingga
tidak dapat berkembang
b.
Pendederan
Pendederan
dilakukan setelah tukik menetas. Tukik yang menetas tersebut dipindahkan ke
dalam Styrofoam yang telah di isi air laut dengan ketinggian 10 – 15 .
Pendederan dilakukan selama 2 hari dengan
padat tebar maksimal 15 ekor/m2. Padat tebar harus di perhatikan
agar tukik dapat dengan leluasa berenang dan juga untuk menghindari dalam
masalah persaingan makanan.
c.
Pemberian
Pakan
Pakan yang diberikan untuk tukik penyu sisik yaitu
ikan rucah. Pemberian pakan pada tukik
penyu sisik dilakukan sebanyak 2 kali dalam sehari. Pakan diberikan secara
adlibitum dan disebarkan.
d.
Pengelolaan
Kualitas Air
Pengelolaan
kualitas air dilakukan dengan cara pembersihan lumut setiap hari. Selain itu
monitoring kualitas air secara berkala sangat penting untuk dilakukan parameter
kualitas air yang perlu di perhatikan didalam penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) adalah, suhu, pH, dan salinitas.
e.
Pelapasan Tukik
Tukik
yang sudah berumur 5 bulan telah memiliki karapas yang keras dan sudah bisa
dilepas ke laut. Adapun hal – hal yang perlu diperhatikan dalam pelepasan penyu
adalah sebagai berikut :
1.
Pelepasan tukik dilakukan
pada saat cahaya matahari tidak bersinar terik atau setelah matahari tenggelam,
karena dapat menghindari banyak predator dan mencegah kekeringan pada tubuh
tukik.
2.
Tukik dilepas di lokasi yang
berbeda – beda agar terhindar dari pemangsaan secara bersamaan oleh predator.
3.
Tukik tidak di lepas
langsung ke laut, tapi di lepas di pantai. Hal ini bertujuan agar dapat
mengingat karakteristik pantai.
f. Analisis Data
Data yang diperoleh dari UPT. Konservasi Penyu Kota
Pariaman dikumpulkan dan ditabulasikan dalam bentuk tabel serta dianalisis
secara deskriptif untuk memberikan gambaran tentang teknik Penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
1.
Hatching
Success (HS)
Untuk mengetahui tingkat kesuksesan (hatching success/HS)
dapat dihitung dengan rumus :
HS (%) =
x 100 %
2.
Tingkat
Lulus Kehidupan
Untuk
menghitung persentase keberhasilan selama pemeliharaan tukik dapat dihitung
dengan rumus :
SR =
x 100 %
Keterangan :
SR : Tingkat kelangsungan hidup (%)
Nt : Jumlah tukik yang hidup diakhir pemeliharaan (ekor)
No : Jumlah tukik yang hidup diawal pemeliharaan (ekor)
HASIL DAN PEMBAHASAN
1.
Keadaan
Umum UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
UPT Konservasi
Penyu ini terletak di Desa Apar Kecamatan Pariaman Utara Kota Pariaman dengan
koordinat o 33’00’’ – 0o 40’ 43” lintang selatan dan 100o
10’30’’ – 100o 10’ 55’’ bujur timu. UPT Konservasi Penyu ini
berjarak ± 3 km dari pusat Kota Pariaman. Luas komplek UPT Konservasi Penyu
Kota Pariaman 435,89 Ha yang terdiri dari kantor, pos jaga, ruang inkubasi
telur, laboratorium, ruang pendederan, bak pembesaran.
Kota Pariaman
memiliki 5 pulau yaitu Pulau Ujung, Pulau Tangah, Pulau Angso, Pulau Kasiak
Dan, Pulau Gosong. Yang merupakan Kawasan Konservasi Perairan KKP di Kota
Pariaman. Pada saat ini Kota Pariaman telah berhasil melakukan penangkaran
terhadap 3 (tiga) jenis penyu yaitu : penyu hijau
(Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), penyu lekang (Lepidochelys olivacea).
Namun spesies yang paling banyak di temukan di pantai pariaman adalah jenis
penyu hijau (Chelonia mydas), penyu abu-abu (Lepidochelys olivacea).
Kondisi
topografi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah daratan rendah, memiliki
panjang pantai sekitar 12,73 km, tekstur pasir yang halus berwarna kecoklatan,
terdapat batu pemecah gelombang (breakwater).
Luas disekitar kawasan pantai terdapat vegetasi tumbuhan cemara, ketaping dan
tumbuhan merambat lainnya.
2.
Sejarah
Singkat Berdirinya UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
Berdasarkan Undang
– Undang Perikanan Nomor 31 Tahun 2004 yaitu suaka perikanan (Pasal 7 Ayat 1),
peraturan pemerintah No 60 Tahun 2007 tentang Konservasi Sumberdaya Ikan,
Undang – Undang 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan sejalan dengan
semangat otonomi daerah, maka dikembangkanlah Pusat Penangkaran Penyu Kawasan
Konservasi Perairan (KKP) kota pariaman yang kini lebih di kenal dengan UPT
Konservasi Penyu. Namun Pusat Penangkaran Penyu KKP Kota Pariaman belum berdiri
sendiri, tapi masih berada dibawah naungan Dinas Kelautan dan Perikanan Kota
Pariaman.
3.
Fungsi
dan tugas pokok
a.
Fungsi
Adapun
fungsi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman yaitu :
1. Perlindungan
habitat dan populasi biota perairan.
2. Rehabilitas
habitat dan populasi biota perairan.
3. Penelitian
dan Pengembangan .
4. Pemanfaatan
Sumberdaya ikan dan jasa lingkungan (ekowisata,dll)
5. Pengembangan
sosial ekonomi masyarakat.
6. Pengawasan
dan pengendalian .
7. Monitoring
dan Evaluasi.
8. Pengembangan
Program kerjasama / Jeraring Konservasi.
b.
Tugas
Pokok
Tugas pokok UPT Konservasi
Penyu Kota Pariaman adalah pelestarian penyu dengan melakukan penangkaran dan sosialisai
tentang pentingnya melestarikan penyu kepada masyarakat.
4.
Visi
dan Misi UPT Penangkaran Penyu Kota Pariaman
a.
Visi
“ Terwujudnya kesejahtraan masyarakat melalui
pengembangan ekowisata berbasis pelestarian penyu beserta habitatnya ”.
b.
Misi
1.
Mendorong terciptanya penguatan dalam
pengelolaan kawasan konservasi.
2.
Mendorong peningkatan kesejahteraan
ekonomi masyarakat melalui wisata berbasis konservasi penyu.
5.
Tujuan
dan Sasaran UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
a. Tujuan
Melindungi
populasi penyu dan habitatnya dari ancaman yang menyebabkan penurunan populasi.
b. Sasaran
1.
Masyarakat, yaitu berbukanya kesempatan
usaha bagi masyarakat sekitarnya
( membuat kerajinan, kuliner, penginapan, jasa tranportasi dll).
2.
Pemerintahan daerah yaitu dapat menjadi
ikon bagi pemerintah daerah.
6.
Struktur
organisasi
Unit pelayanan
teknis (UPT) konservasi penyu kota pariaman dipimpin oleh kepala Bidang
Pengawasan dan Pengelolaan Sumberdaya Kelautan dan Perikanan yang dibantu oleh
kepala Seksi Pengawasan dan pengendalian, Kepala Seksi konservasi dan beberapa
staf. Bagan Struktur organisasi UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman (terlampir)
7.
Sarana
Dan Prasarana UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
Dalam mendukung
semua kegiatan UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman, maka UPT Konservasi Penyu
Kota Pariaman dilengkapi dengan sarana dan prasarana diantaranya :
Tabel 2 Wadah Penetasan Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricate) Yang Digunakan di UPT
Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
|
Wadah
|
Ukuran wadah
(m)
|
Jumlah
(unit)
|
Padat tebar
|
1
|
Bak
pasir
|
10
x 7
|
1
|
80
– 100
|
Berdasarkan data
dari tabel 2 dapat di ketahui ukuran wadah penetasan, jumlah, serta padat tebar
telur penyu pada wadah penetasan sangat etar kaitannya dengan kegiatan
penangkaran di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman.
Tabel 3 Wadah Pemeliharahan Tukik
Penyu Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricate) Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
|
Jenis wadah
|
Ukuran wadah (m2)
|
Jumlah unit
|
1
|
Pendederan
·
Styrofoam
·
Bak
|
0,75
1,5
|
5
4
|
2
|
Pembesaran
·
Bak A
·
Bak B
|
2
3,75
|
16
4
|
Total
|
29
|
Berdasarkan
tabel 3 dapat diketahuin ukuran dan jumlah wadah pemeriharaan tukik penyu sisik
yang ada, hal ini erat kaitannya dengan penangkaran penyu di UPT Konservasi
Penyu Kota Pariaman.
Tabel 4 Sarana yang Prasarana yang
Ada di UPT Konservasi Penyu Kota
Pariaman
No
|
Sarana
dan prasarana
|
jumlah
|
1
|
Bak
·
Pendederan
·
Pembesaran
|
4
20
|
2
|
Bak inkubasi
|
1
|
3
|
Rumah
jaga
|
2
|
4
|
Gedung
dan sarana lain
·
kantor
·
aula
·
pos jaga
·
ruang pakan
|
1
1
1
1
|
Prasarana pendukung lainnya yang
ada di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah :
a.
Jaringan
Listrik
kapasitas
jaringan listrik yang ada di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman adalah sebesar
60 KVA berasal dari PLN Rayon Ampalu kota pariaman. Untuk menanggulangi
terjadinya gangguan pemadaman listrik dari PLN maka dipersiapkan juga generator
set (Genset) sebanyak 1 unit dengan kapasitas 60 KVA.
b.
Sarana
Tranportasi
Untuk menunjang
kelancaran kegiatan, UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman ditunjang oleh beberapa
kenderaan oprasional antara lain : kenderaan roda 4 (empat) 1 (satu) unit dan
kemderaan roda 2 (dua) 1 (satu) unit.
1.
Teknik
Penangkaran Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata).
a.
Penetasan
Telur
Relokasi atau pemindahan telur dilakukan dari penetasan alami ke
penetasan semi alami. Pemindahan telur dilakukan setelah induk penyu kembali ke
laut. Pemindahan telur penyu dari sarang alami ke sarang semi alami harus
dilakukan dengan hati-hati karena sedikit kesalahan dalam prosedurakan menyebabkan
gagalnya penetasan. (Departemen Kelautan dan Perikanan RI,2009).
Pemindahan telur dilakukan dengan tidak mengubah posisi awal telur
(membalikkan telur), hal ini dilakukan untuk menghindari kegagalan dalam
pembentukkan embrio walaupun pada usia 2 jam setelah induk meletakkan telur ke
dalam sarang telur masih toleran terhadap perubahan (oviposisi). Hal ini
diperkuat dengan pernyataan Limpus (1984) dalam Darmawan (1997), selama
± 10 jam pertama setelah telur diletakkan oleh induk, keadaan substansi isi telur
tidak mengalami banyak perubahan (masih toleran terhadap terjadinya perubahan
letak posisi).
Telur penyu di peroleh dari para pencari telur yang
merupakan warga sekitar pantai peneluran (gambar 7). Telut yang dibeli haruslah
telur yang masih dalam kondisi bagus dan tidak boleh berumur lebih 10 jam
semenjak proses peneluran, karena telur yang dipindahkan dari sarang alaminya
setelah melebihi waktu 10 jam akan memiliki presentase daya tetasan yang
rendah. Telur yang dikumpulkan di beli dengan harga 3000 Rp -,
Gambar 6. Telur –
telur yang dibeli dari pencari telur
penyu
-
Persiapan sarang penetasan buatan / semi
alami
Sarang penetasan telur semi alami di
buat dalam bak pasir yang mudah di control. Sarang penetasan digali dengan kedalaman
yang sama dengan sarang alaminya yaitu antara 35 – 40 cm dengan diameter 15 –
25 cm. Lokasi sarang penetasan dibuat dalam bak pasir agar mudah di control guna menghindari gangguan yang mungkin terjadi
oleh binatang predator seperti anjing dan lain-lain,
-
Inkubasi telur
Telur penyu yang terkumpul diinkubasikan
di dalam lubang sarang yang telah disiapkan. Sarang semi alami dibuat untuk
menggantikan masing-masing sarang alami di alam, artinya telur dari sarang yang
berbeda tidak dicampur dalam satu sarang penetasan. Selanjutnya lubang sarang
ditutup dengan pasir dan ditandai dengan
papan kecil yang berisi informasi tanggal awal inkubasi telur, jumlah telur yang
diinkubasi, jenis telur penyu yang diinkubasi serta tanggal perkiraan dan asal
peneluran penyu ( Gambar 8 ).
Gambar 7.
Telur – telur yang sedang diinkubasi
Secara
alami telur penyu akan menetas (menjadi tukik) setelah diinkubasikan selama 50
– 60 hari, sedangkan menurut (Crite, 2000 dalam
Priyo, 2011), telur akan menetas dengan sendirinya setelah diinkubasi selama 40
– 72 hari, yaitu waktu yang diperlukan sejak telur ditanam dalam pasir sampai
menetas dan tukik muncul ke permukaan.
Tabel 5 Data Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) yang Diinkubasi Selama
Praktek Kerja Lapang di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman.
No
|
Daerah Asal Telur
|
Tanggal Peneluran
|
Jumlah Telur
(butir)
|
Tanggal Perkiraan Menetas
|
Jenis Penyu
|
1
|
P. Gosong
|
17-6-2015
|
80
|
26-7-2015
|
Sisik
|
2
|
P. Ujung
|
21-6-2015
|
90
|
30-7-2015
|
Sisik
|
3
|
P.Tangah
|
24-6-2015
|
84
|
3-8-2015
|
Sisik
|
Dari tabel diatas, dapat dilihat bahwa
jumlah telur penyu yang diperoleh adalah sebanyak 254 butir yaitu 80 butir
telur penyu sisik yang ditemukan di Pulau Gosong, 90 butir telur penyu sisik
yang ditemukan di Pulau Ujung dan, 84 butir telur penyu sisik yang di temukan
di Pulau Tangah kota pariaman.
Selama ± 50 hari telur penyu sisik
diinkubasi, maka telur penyu tersebut akan menetas. Untuk memperoleh tukik
tukik yang perkelamin jantan pada proses inkubasi, maka dipertahankan suhu 24 oC
dan betina yaitu pada suhu 32oC ke atas (Prihanta, 2007).
Selama masa inkubasi, telur akan
berkembang dan tumbuh menjadi tukik yang mirip dengan induknya. Telur yang
sudah diinkubasi selama ± 50 hari lalu menetas menjadi tukik (Gambar 8). Yusuf
(2000) menyatakan bahwa tukik yang baik dalam telur, akan memecahkan cangkang
telur dari dalam dengan menggunakan ujung paruh yang terdapat di ujung
rahangnya, kemudian keluar dari cangkang telur. Peristiwa pecahnya cangkang
telur oleh tukik ini di sebut dengan penetasan. Tukik yang baru menetas ini
mengandung kuning telur yang mengumpal diperutnya juga mempunyai tali pusar
yang berhubung dengan embrio. Setelah semua menetas tukik – tukik mulai
bergerak menembus pasir diatasnya untuk selanjutnya keluar permukaan pasir.
Gambar 8. Tukik yang behasil menetas.
Selama praktek kerja lapang
berlangsung di peroleh jumlah telur yang
menetas dan tidak berkembang menjadi tukik. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel 6 dibawah ini.
Tabel 6. Data Penetasan Telur Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
Selama Praktek Kerja Lapang Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
|
Data Penetasan
|
Actual hatching date
|
||
26-7-2015
Ekor/Butir
|
30-7-2015
Ekor/Butir
|
3-8-2015
Ekor/Butir
|
||
1
|
Jumlah tukik yang hidup
|
75
|
84
|
80
|
2
|
Jumlah tukik yang mati
|
3
|
-
|
1
|
3
|
Jumlah tukik yang kondisi lemas
|
-
|
5
|
2
|
4
|
Jumlah cangkang telur
|
78
|
89
|
84
|
5
|
Jumlah telur yang tidak berkembang (embrio)
|
2
|
-
|
-
|
7
|
Jumlah telur yang tidak di buahi
|
-
|
1
|
1
|
Dari tabel diatas dapat diketahui bahwa
jumlah telur penyu sisik yang menetas menjadi tukik pada tanggal 26 Juli 2015
yaitu 75 ekor dan jumlah telur yang gagal 5 butir/ekor. Sedangkan pada tanggal
30 Juli 2015 jumlah telur penyu sisik yang menetas menjadi tukik 84 ekor dan jumlah
telur yang gagal 6 butir/ekor, pada tanggal 3 Agustus 2015 jumlah telur penyu
sisik yang menetas menjadi tukik 80 ekor dan jumlah telur yang gagal 4
butir/ekor. Tingkat keberhasilan dalam penetasan penyu sisik dapat di hitung
dengan menggunakan rumus di bawah ini dan jumlah HS (Hatcing Success) yang
dapat dilihat pada tabel 7.
HS (%) =
x 100 %
Tabel 7. Tingkat Keberhasilan Penetasn Telur Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata) Selama Praktek Kerja Lapang Di UPT Konservasi Penyu Kota
Pariaman
Tanggal penetasan
|
Jumlah tukik yang hidup
|
Jumlah telur dalam sarang
|
HS %
|
26 – 7 – 2015
|
75
|
80
|
93,75 %
|
30 – 7 – 2015
|
84
|
90
|
93, 33 %
|
3 – 8 – 2015
|
80
|
84
|
95, 23 %
|
Dari tabel
diatas dapat diketahui bahwa HS (Hatcing Success) telur penyu sisik tergolong tinggi
yaitu 94 % pada tanggal 26 Juli, 30 Juli dan, 3 Agustus 2015.
b. Pendederan
Tukik penyu
sisik yang baru menetas dibiarkan berada dipasir hingga lendir pada tubuh tukik
kering. Setelah lendir ditubuhnya kering, maka tukik dipindahkan kedalam
Styrofoam yang berisi air laut dengan ketinggian 10 – 15 cm kemudian
dipindahkan dalam bak pendederan. Pada masa pendederan , tukik dipelihara didalam bak selama ± 2 hari.
Setelah ± 2 hari tukik dipelihara
dalam bak, kemudian tukik penyu sisik siap
untuk di lepaskan ke laut.
Gambar 9.
Tukik dalam bak pendederan
Jumlah tukik
Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) pada bak pendederan di UPT Konservasi Penyu
Kota Pariaman pada saat melakukan praktek kerja lapang berjumlah 146 ekor.
Untuk mengetahui pada penebaran tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
yang umumnya dilakukan dikolam pendederan dan pembesaran di upt konservasi
penyu kota pariaman dapat dilihat pada tabel 8.
Tabel 8. Padat Tebar Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata)
Dikolam Pendederan
Wadah
|
Bahan
|
Bentuk
|
Ukuran (m2)
|
Padat Tebar (ekor/m2)
|
Jumlah
|
Bak pendederan
|
semen
|
Persegi
panjang
|
1,5
|
20
|
4
|
Berdasarkan
tabel diatas dapat diketahui bahwa padat pemebaran pada bak pendederan dan
pembesaran tidak terlalu tinggi sehingga tukik bebas dan bersaingan untuk
mendapatkan makanan dapat dihindari, sehingga tingkat kelulusan hidup tukik
selama pemeliharaan tidak terlalu tinggi.
c. Pemberian pakan
Selama ± 1
hari kuning telur habis tukik penyu sisik diberi pakan berupa ikan rucah
(Gambar 11). Ikan – ikan rucah yang biasa diberi yaitu ikan tongkol (Thunnus alalunga), ikan teri (StolepHorus commersoni), dan ikan
pepetek (Leiognathus dussumier). Ikan
rucah tersebut di cincang halus agar tukik dapat tukik dapat mencerna pakan
dengan mudah. Pemberian pakan dilakukan secara adlibitum dengan frekuensi dua
kali sehari, yaitu pada pukul 08.00 dan pukul 16.00. pakan diberikan dengan
cara menebarkannya langsung pada bak peliharaan. Pemberian pakan pada masa
pendederan harus diperhitungkan secara
tepat sehingga tukik dapat tumbuh dengan baik dan memiliki kelansungan hidup
yang tinggi. Dan hal ini juga dapat mencegah kanibalisme oleh tukik yang satu
dengan yang lainnya.
Gambar 10.
Ikan rucah yang telah dicincang
d. Pengelolaan Kualitas
Air
Air
merupakan faktor utama dalam kegiatan penangkaran penyu sisik. Sumber air
berasal dari air laut yang meresap kedalam tanah dan dipompa mengunakan pompa
air. Kualitas air yang digunakan sebagai media siklus yang dipelihara juga
memerlukan perhatian khusus. Beberapa parameter kualitas air yang diperhatikan
didalam penetasan telur dan pemeliharaan tukik penyu sisik yaitu Suhu, pH, dan
salinitas. Hal ini dapat dilihat pada tabel 9 di bawah ini.
Tabel 9. Parameter Kualitas Air Diwadah Penetasan Dan Pemeliharaan
Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata) Dikolam Pendederan Dan
Pembesaran Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
|
Parameter yang diukur
|
Satuan
|
Hasil Uji
|
|
Bak Penetasan
|
Bak Pemeliharaan
|
|||
1
|
Suhu
|
oC
|
25 – 30
|
25 – 30
|
2
|
pH
|
-
|
7,4 – 7,7
|
|
3
|
Salinitas
|
ppt
|
31 – 35
|
Dari tabel diatas dapat dilihat bahwa secara umum
kualitas air di upt konservasi penyu kota pariaman menunjukan hasil yang baik
dimana kisarannya masih memenuhi syarat untuk kelansungan hidup telur dan tukik
penyu sisik.
1.
Suhu
Pengukuran suhu pada sarang telur, bak pendederan dan bak
pembesaran dilakukan dengan mengunakan thermometer. Dari hasil pengukuran
tampak bahwa suhu pada sarang telur, bak pendederan dan pendederan relative
stabil dan baik bagi kehidupan tukik penyu sisik. Kisaran suhu selama perakter
kerja lapang berkisar 25 – 30 oC. Pada suhu tersebut masih tergolong
normal untuk penetasan telur dan pertumbuhan tukik. Hal ini diperkuat oleh
pendapat Yusuf (2000), suhu yang diperlukan agar pertumbuhan embrio dapat
berjalan dengan baik adalah 24ºC – 33 ºC. Stickney (1979) juga menyatakan 16 –
25 ºC sebagai kisaran suhu optimal yang baik terhadap pertumbuhan tukik.
2.
pH
Pengukuran pH dilakukan dengan menggunakan pH meter. Dari hasil
pengukuran tampak bahwa pH pada bak pemeliharaan tukik penyu sisik cenderung
stabil yaitu 7,4 – 7,7. PH air laut cenderung stabil seperti yang dikemukakan
oleh wardoyo dan jokosetiyanto, 1988 dalam naulita, 1990 bahwa pH air laut
cenderung stabil karena mempunyai kemampuan menyangga (buffer capacity) yang tinggi sehingga air laut yang digunakan masih
dalam kondisi yang cukup baik.
3.
Salinitas
Pengukuran salinitas dilakukan
dengan menggunakan hand refractometer. Dari
hasil pengukuran tampak bahwa salinitas pada bak pemeliharaan tukik penyu sisik
berkisar antara 31- 35 ppt. Salinitas merupakan parameter lingkungan yang
mempengaruhi proses biologi. Salinitas mempengaruhi kualitas air dalam total
konsentrasi osmotic, keberadaan dan konsentrasi ion, kelarutan oksigen dan
berat jenis (Casdika, 1998 dalam Supriadi,
2012).
Selanjutnya salinitas secara
langsung akan mempengaruhi kehidupan
organisme, diantaranya akan mempengaruhi laju pertumbuhan, jumlah makanan yang
dikosumsi, nilai konversi makanan dan daya kelangsungan hidup biota air
(Casdika, 1998 dalam Supriadi, 2012).
Dari hasil pengukuran tampak bahwa salinitas air yang berada dipenangkaran
yaitu 35 ppt dan hal tersebut masih tergolong sesuai dengan salinitas perairan
alami sebagai tempat penyu sisik tersebut hidup.
e.
Kelulusan Hidup Tukik
Tabel 10. Tingkat Kelulusan Hidup (SR) Tukik Penyu Sisik (Eretmochelys
imbricata) Di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman
No
|
Jumlah Tukik Awal
Pengamatan
|
Jumlah Tukik Akhir Pengamatan
|
Umur (Hari)
|
SR %
|
1
|
98
|
95
|
2
|
96,93 %
|
2
|
85
|
84
|
3
|
98,82 %
|
Keterangan : Data yang diambil 2 sarang sebagai sampel
Dari tabel diatas dapat diketahui
bahwa SR tukik penyu sisik tergolong tinggi yaitu di atas 90 % .
f. Pelepasan tukik
Pelepasan
dilakukan setelah tukik dinyatakan sehat
dan kuat. Artinya pada usia menginjak 2 - 5 tukik yang ada pada kolam pendederan
sudah bisa dilepas kelaut karena tukik tersebut sudah kuat sehingga mampu untuk
persaing dan menghindari musuh – musuh alaminya dilaut lepas. Dari 100 % Tukik
yang berhasil menetas hanya 75 % saja yang di lepas ke laut sedangkan sisa 25 %
nya di besarkan sebagai sarana edukasi dan penyuluhan. Pelepasan tukik kelaut
dilakukan pada saat senja hari yaitu pada pukul 5 – 7 malam, ketika udara mulai
dingin yang gelap, hal ini dimaksud untuk menjaga agar tukik tidak mudah
dimakan oleh predator. Secara naluriah tukik akan menuju cahaya paling terang
sebagai pemandunya untuk menuju laut.
Tukik yang dilepas kelaut tidak akan langsung
menuju air laut. Tukik – tukik akan
beradaptasi beberapa menit dengan lokasi pantai tempat mereka akan dilepas. Untuk
menemukan arah ke laut tukik berpatokan pada arah yang paling terang serta
menggunakan topografi garis horison di sekitarnya. Begitu mencapai laut tukik menggunakan
berbagai kombinasi petunjuk (arah gelombang, arus dan medan magnet) untuk
orientasi ke daerah lepas pantai yang lebih dalam. Kegiatan tukik melewati
pantai dan berenang menjauh adalah upaya untuk merekam petunjuk petunjuk yang diperlukan
untuk menemukan jalan pulang saat mereka akan kawin. ( Departemen Kelautan dan Perikanan RI, 2009).
Hal ini juga sesuai dengan pernyataan (Yusuf, 2000).
Tukik yang dilepas ke laut tidak lansung
menuju air laut. Tukik – tukik akan beradabtasi beberapa menit dengan lokasi
pantai tempat mereka akan dilepas. Tingkah laku yang dilakukan tukik ketika
menuju laut adalah bergerak menelusuri sekitar pantai dan mendekati bunyi
hempasan ombak, kemudian tukikakan bergerak menuju laut dan akhirnya hanyut bersama
arus air laut.
g. Pencegahan dan Penanggulangan
Penyakit
Pencegahan terhadap penyakir sangat penting untuk
diperhatikan. Untuk mencegah timbulnya penyakit itu perlu dilakukan beberapa
hal seperti pergantian air minimal 1 hari sekali, membersihkan bak pemeriharaan
dari lumut dan sisa kotoran tukik serta membersihkan karapas tukik penyu sisik
dengan menggunakan spon yang lembur dan sikat lumut yang ada pada karapas
hingga bersih. Selain itu, pemberian pakan harus diberikan secara optimal. Jika
pemberian pakan kurang, maka sifat kanibalisme tukik akan muncul sehingga tukik
yang dalam kondisi fisik yang lemah akan digigit dan dimakan oleh tukik yang
kuat. Jika telah terjadi demikian, maka luka dari hasil gigitan tukik tersebut akan tumbuh jamur dan menbuat
kondisi tubuh tukik akan melemah dan mati.
KESIMPULAN
DAN SARAN
1. Kesimpulan
Kesimpulan dari semua rangkuman data
selama praktek kerja lapang di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman ialah :
a.
Relokasi sarang dilakukan
agar telur mudah di control guna
menghindari gangguan yang mungkin terjadi oleh binatang predator seperti anjing
dan lain-lain,
b.
Sarang penetasan digali
dengan kedalaman yang sama dengan sarang alaminya yaitu antara 35 – 40 cm
dengan diameter 15 – 25 cm.
c.
Selama ± 50 hari telur penyu
sisik diinkubasi, maka telur penyu tersebut akan menetas.
d.
HS (Hatcing Success) pada
penetasan telur penyu sisik di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman tergolong
tinggi yaitu 94 %
e.
Kelansungan hidup atau Syrvival Rate (SR) tukik penyu sisik (Eretmochelys
imbricata) di UPT Konservasi Penyu Kota Pariaman tergolong baik yaitu
diatas 85 %.
f.
Tukik di pelihara pada bak
pembesaran selama ± kurang lebih 2 – 5 hari sampai tukik tumbuh benar – benar
sehat dan kuat untuk dapat berenang serta menyelam.
g.
Pelepasan tukik kelaut
dilakukan pada saat senja hari yaitu pada pukul 5 – 7 malam, ketika udara mulai
dingin yang gelap.
2. Saran
Perlu adanya pertimbangan bagi
stakeholder terkait tentang konservasi penyu di luar habitat asli untuk
mengatasi penurunan populasi penyu. Perlu adanya peningkatan rehabilitas pantai
peteluran dikawasan konservasi perairan dan pulau – pulau kecil khususnya di
Kota Pariaman untuk menghindari penurunan populasi penyu yang bertelur.
Perlunya dilakukan penyuluhan terhadap
habitat tempat penyu dan kegiatan pelestarian harus lebih ditingkatkan tidak
hanya melibatkan pemerintah dan instansiinstansi yang terkait tetapi juga harus
melibatkan masyarakat disekitar kawasan pantai pariaman.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar