Selasa, 03 September 2013

pemanfaatan dan potensi makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan.




BAB I
PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Lautan telah lama dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling besar, paling kompleks dan paling dinamis di dunia. Interaksi antara faktor fisik, kimia dan biologi yang terjadi di lautan berlangsung sangat cepat dan terus menerus sehingga amat menentukan kondisi ekosistem yang ada di lingkungan perairan tersebut. Organisme yang ada harus mampu beradaptasi, baik secara morfologis maupun fisiologis untuk dapat bertahan hidup. Selain menjadi habitat bagi organisme, laut juga menjadi sumber bahan pangan, media transportasi, sumber bahan tambang, sumber energi, sumber mineral dan obat-obatan yang sangat penting. Adanya gangguan terhadap lautan dan ekosistemnya baik secara langsung ataupun tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Beragamnya aktifitas manusia menyebabkan sungai merupakan wilayah yang paling mudah terkena dampak kegiatan manusia.  Akibat lebih jauh adalah terjadinya penurunan kualitas perairan di daerah tersebut, karena adanya masukan limbah yang terus bertambah.
Makrozoobentos mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan. Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke habitatnya.  Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978)
Keberadaan hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor lingkungan, baik biotik maupun abiotik.  Faktor biotik yang berpengaruh diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi hewan bentos.
1.2  Tujuan
Makalah ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang pemanfaatan dan potensi makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan.  Adapun hal-hal yang dikemukakan meliputi pengertian makrozoobentos, faktor-faktor yang mempengaruhi keberadaan makrozoobentos, pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan pesisir, dan spesies indikator.
1.3  Manfaat
Memberikan rekomendasi dan wacana kepada mahasiswa tentang pentingnya makrozoobentos sebagai indikator pencemaran.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu kelompok organisme penyusun ekosistem laut adalah bentos. Bentos istilah berasal dari Yunani untuk “kedalaman laut”. Bentos adalah organisme yang hidup di dasar laut dengan melekatkan diri pada substrat atau membenamkan diri di dalam sedimen. Mereka tinggal di atau dekat sedimen laut lingkungan, dari kolam pasang surut di sepanjang tepi pantai, ke benua rak, dan kemudian turun ke kedalaman abyssal. Daerah terkaya akan jumlah dan macam organisme pada sistem muara-laut ialah daerah bentik, yang terbentang dari pasang naik sampai suatu kedalaman di tempat tanaman sudah jarang tumbuh.
Tubuh bentos banyak mengandung mineral kapur. Batu-batu karang yang biasa kita lihat di pantai merupakan sisa-sisa rumah atau kerangka bentos. Jika timbunannya sangat banyak rumah-rumah binatang karang ini akan membentuk Gosong Karang, yaitu dataran di pantai yang terdiri dari batu karang. Selain Gosong Karang ada juga Atol, yaitu pulau karang yang berbentuk cincin atau bulan sabit.
Batu-batu karang yang dihasilkan oleh bentos dapat dimanfaatkan untuk keperluan penelitian, rekreasi, sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Sedangkan zat kimia yang terkandung dalam tubuh bentos bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk pembuatan obat dan kosmetika.
Benthic organisme, seperti bintang laut, kerang, kerang, teripang, bintang rapuh dan anemon laut, memainkan peran penting sebagai sumber makanan bagi ikan dan manusia.
Klasifikasi benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa, echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran antara 0.1 – 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda, copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera. Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm, contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata.
Berdasarkan morfologi dan cara makannya, bnethos dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu (1) benthos pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang sempit; (2) benthos pemakan deposit yang tidak selektif (non-selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi mulut yang lebar; (3) benthos pemakan alga (herbivorous feeders); dan (4) benthos omnivora/predator (Heip et al. 1985; Gwyther & Fairweather 2002).
Beberapa jenis Bentos
Sumber makanan utama bagi bentos adalah plankton dan organik air hujan dari daratan (sungai). Aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya dengan pemanfaatan air sungai di daerah pemukiman, industri, dan irigasi pertanian. Bahan pencemar yang berasal baik dari aktifitas perkotaan (domestik), industri, pertanian dan sebagainya yang terbawa bersama aliran permukaan (run off), langsung ataupun tidak langsung akan menyebabkan terjadinya gangguan dan perubahan kualitas fisik, kimia dan biologi pada perairan sungai tersebut yang pada akhirnya menimbulkan pencemaran. Dimana pencemaran pada badan air selalu berarti turunnya kualitas dan air sampai ke tingkat tertentu akan menyebabkan air dan tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap pencemaran.
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran.  Organisme intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya organik.  Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan mengalami penurunan kualitas.  Organisme fakultatif yaitu organisme yang dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila dibandingkan dengan organisme intoleran.  Walaupun organisme ini dapat bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat mentolerir tekanan lingkungan.  Organisme toleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek.  Pada umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan organik.  Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat menunjukkan derajat pencemaran.
Sumber pencemar yang terdapat di sepanjang aliran antara lain : (1) Limbah Organik, dapat bersumber dari limbah pasar, rumah tangga, restoran/rumah makan, industri perkayuan dan sebagainya. (2) Limbah Anorganik (logam berat), dapat memberikan kontribusi yang besar terhadap penurunan kualitas sumberdaya air seperti Cu, Zn, Hg, Cd, Cr, Pb dan lain sebagainya. Polutan yang masuk ke perairan sungai juga mengalami proses pengendapan pada sedimen dasar yang dapat bersifat toksik. Sehingga berpotensi untuk mencemari sumber-sumber air yang ada bila tidak dikelola secara bijaksana.
Penurunan kualitas biologi pada perairan sungai akan mengakibatkan timbulnya berbagai permasalahan seperti sanitasi dan kesehatan masyarakat di sekitar aliran sungai semakin rendah. Buruknya sanitasi dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit infeksius seperti diare, dysentri, colera dan lain-lain. Penurunan kualitas perairan sungai juga dapat menyebabkan kematian biota air seperti ikan dan selanjutnya akan membawa dampak terhadap perekonomian masyarakat disekitar sungai yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.
Penggunaan makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk indeks biologi.  Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan tercemar.  Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme yang hidup di perairan tidak tercemar.  Kemudian oleh para ahli biologi perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Spesies indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002).  EPA (2002) menyatakan bahwa sebagaimana di sistem perairan tawar, biota yang hidup di perairan estuaria dan laut dapat menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos (seperti  polychaeta) merupakan indikator yang baik untuk kualitas air lingkungan  laut karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan terhadap sistem air tawar.  Polychaeta dikenal sebagai organisme yang sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.
Via-Norton, A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas perairan, khususnya perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai berikut:
A.  Indikator untuk perairan yang berkualitas baik
1.   Kelas Serangga
Stonefly Nymphs (Order Plecoptera)
Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)
Roach-like Stonefly Nymph (Family Peltoperlidae)
Mayfly Nymphs (Order Ephemeroptera)
Brush-Legged Mayfly Nymph (Family Oligoneuridae)
Flatheaded Mayfly Nymph (Family Heptageniidae)
Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae)
Caddisfly Larvae (Order Trichoptera)
Net-Spinning Caddis Larva (Family Hydropsychidae)
Fingernet Caddis Larva (Family Philopotamidae)
Case-Making Caddis Larva (various families)
Free-living Caddis Larva (Family Ryacophilidae)
Dobsonfly (Order Megaloptera, Family Corydalidae)
Water Penny (Order Coleoptera, Family Psephenidae)
Riffle Beetle (Order Coleoptera, Family Elmidae)
2.   Kelas lain
Gilled Snail (Order Gastropoda, Family Viviparidae)
B.  Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat)
1.   Kelas Seranga
Dragonfly Nymph (Order Odonata, Suborder Anisoptera)
Damselfly Nymph (Order Odonata, Suborder Zygoptera)
Watersnipe Fly Larva (Order Diptera, Family Athericidae)
Alderfly Larvae (Order Megaloptera, Family Sialidae)
Cranefly Larvae (Order Diptera, Family Tipulidae)
Beetle Larvae (Order Coleoptera)
Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae)
Predaceous Diving Beetle Larva (Family Dytiscidae)
Crawling Water Beetle Larva (Family Haliplidae)
2.   Kelas lain
Scuds (Order Amphipoda, Family Gammaridae)
Sowbugs (Order Isopoda, Family Asellidae)
Crayfish (Order Decapoda, Family Cambaridae)
C.  Indikator untuk perairan berkualitas buruk
1.   Kelas Serangga
Midge Larva (Order Diptera, Family Chironomidae)
Blackfly Larva (Order Diptera, Family Simulidae)
2.   Kelas lain
Pouch Snail (Order Gastropoda, Family Physidae)
Planorbid Snail (Order Gastropoda, Family Planorbidae)
Leech (Class Hirudinea)
Aquatic Worm (Class Oligochaeta)
Adapun untuk perairan pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies yang dapat dijadikan indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi tentang keberadaan polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang menunjukkan kondisi perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen yang rendah, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah.


BAB III
METODELOGI
Metode kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik.  Hynes (1978) ber-pendapat bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap pengaruh buangan yang bersifat toksik.  Tidak ditemukannya makrozoobentos tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik.  Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena berlangsungnya pencemaran.  Model yang umum digunakan adalah dengan me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis (Ma-gurran, 1988).
Keragaman jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan.  Suatu komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.
Indeks keragaman jenis (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis, untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu masing-masing jenis dalam suatu komunitas.  Diantara Indeks ke-ragaman jenis ini adalah Indeks keragaman Shannon – Wiener.
Perbandingan antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman populasi, yang disimbulkan dengan huruf E.  Nilai E ini berki-sar antara 0 – 1.  Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi, artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi.  Untuk melihat dominasi suatu spesies digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air.  Wilhm (1975) menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya kecil dari satu.  Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut setengah tercemar.  Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari tiga.  Staub et all.  dalam Wilhm (1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (0<H’<1), setengah tercemar (1<H’<2), tercemar ringan (2<H’<3) dan tercemar sangat ringan (3<H<4,5).  Kisaran nilai H’ tersebut merupa-kan bagian dari penilaian kualitas air yang dilakukan secara terpadu dengan faktor fisika kimia air.  Sedangkan Lee et all. (1978) menyatakan bahwa nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar berat, kecil dari satu (H<1), tercemar sedang (1,0 – 1,5), tercemar ringan (1,6 – 2,0), dan tidak tercemar H besar dari dua (H>2,0).
Pengembangan metode indeks diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May (1975) dalamMagurran (1988), yaitu menggunakan model distribusi kelimpahan jenis.  Model distribusi kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan parameter yang sama namun dalam perhitungannya lebih bervariasi misalnya rangking spesies, kelimpahan observasi, kelimpahan teoritis, dan uji kesesuaian model, sehingga model ini lebih mendekati keadaan perairan sesungguhnya.
Model distribusi kelimpahan spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian dan pemanfaatan sumber daya dalam komunitas (Magurran, 1988).  Model-model tersebut adalah: Model Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken Stick.  Model Geometrik menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana organisasi komunitas bersifat kompetitif dan mengalami gangguan, produktifitas rendah, pembagian sumber daya dalam komunitas tidak merata (Southwood, 1978) dan dalam tingkat suksesi awal atau lingkungan sangat terganggu (Magurran, 1988).  Model Log normal menggambarkan organisasi komunitas yang layak, pembagian relung yang mantap atau merata, lingkungan perairan yang stabil sehingga mencirikan suatu komunitas yang seimbang.  Model Broken Stick menggambarkan suatu komunitas yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian relung mengacak tanpa tumpang tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif (Southwood, 1978).
Untuk mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan struktur komunitas makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.  Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan “principle components analysis”. Dari gambaran ini diharapkan dapat diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang diduga dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan serta faktor fisika kimia apa saja yang terutama mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan tersebut.
Hellawel (1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a).  mudah diidentifikasi, b).  tersebar secara kosmopolit, c).  kelimpahan dapat dihitung, d).  Variabilitas ekologi dan genetik rendah, e).  ukuran tubuh relatif besar, f).  mobilitas terbatas dan masa hidup relatif lama, g).  karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h).  terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta i).  cocok untuk digunakan pada studi laboratorium.  Rondo (1982) mengemukakan bahwa suatu takson dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus ekslusif dengan fekuensi kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi kehadiran 50%, dan predominan.  Suatu takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya minimal 10%.
Beberapa organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978).  Kelebihan penggunaan makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan, bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993).  Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).



BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN
Masing-masing bentik memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi sejalan dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran komunitas bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya, bentik telah mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi morfologi yang dimaksud adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh, penyederhanaan organ dan memperkuat dinding tubuh serta mengembangkan alat pelekat. Semua organisme bentik berukuran sangat kecil. Adaptasi yang sangat nyata terhadap lingkungan dinamis adalah ukuran dan bentuk tubuh. Ukuran tubuh bentik berkisar 0.63–1 mm (63–1.000 µm). Kebanyakan organisme bentik mempunyai bentuk tubuh memanjang atau seperti plat, dan ada juga berbentuk silinder. Umumnya bentik melakukan pelangsingan tubuh dan meningkatkan fleksibilitas tubuh. Bentuk tubuh seperti flat, organisme bentik dapat melekatkan dirinya pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini agar bentik dapat tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga terbebas dari pengaruh selama proses suspensi kembali (resuspensi) ke atas. Dalam lingkungan sedimen yang gelap, bentik melakukan adaptasi dengan mereduksi mata dan pigmen tubuhnya (Webber & Thurman, 1999).
Kehadiran bentik dalam suatu ekosistem dapat mempengaruhi struktur komunitas makrofauna secara nyata. Bentik yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut memiliki peranan yang amat penting, yaitu sebagai salah satu mata rantai penghubung dalam aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik sampai konsumen tingkat tinggi, dan memberikan kontribusi dalam menopang kehidupan organisme trofik yang lebih tinggi seperti kepiting, ikan dan udang. Terkait dengan responnya terhadap lingkungan, bentik mempunyai kepekaan terhadap perubahan-perubahan yang terjadi terhadap lingkungannya, sehingga jenis tertentu dari bentik, seperti Nematoda dan Copepoda sering digunakan sebagai indikator dalam menyatakan kelimpahan bahan organik. Perbandingan Nematoda dan Copepoda (rasio N/C) dapat digunakan sebagai alat biomonitoring pencemaran organik dalam komunitas bentik. Pengaruh utama akumulasi bahan organik adalah pengurangan kandungan oksigen dalam sedimen dan selanjutnya menstimulasi pembentukan lapisan hidrogen sulfida (Odum, 1993).
Keuntungan menggunakan bentik untuk studi pencemaran adalah:
1) Biasanya bentik mempunyai kemampuan untuk bertambah dalam lingkungan bentik yang terganggu/tercemar, tidak seperti makrofauna;
2) Umumnya bentik mempunyai siklus hidup yang pendek (sekitar 30–40 hari), menghasilkan generasi dalam setahun, organisme yang terekspos tahan terhadap toksikan dan siklus hidupnya lebih komplit;
3) Ukuran bentik yang kecil dapat diberikan untuk ukuran sampel yang kecil pula;
4) Komunitas bentik sifatnya lebih stabil, baik kualitas maupun kuantitasnya terhadap musim dan dari tahun ke tahun daripada makrofauna.
komunitas merupakan kumpulan beberapa populasi pada ruang dan waktu yang sama. Didalam komunitas digunakan beberapa pendekatan yaitu:
pendekatan struktural yang bersifat kuantitatif. Kekayaan spesies yaitu dengan adanya keragaman spesies.


BAB V
KESIMPULAN
Sebagai organisme yang hidupnya cenderung menetap di dasar perairan, maka pemanfaatan makrozoobentos untuk mengetahui kualitas perairan, akan dapat memberikan gambaran kondisi perairan yang lebih tepat. Namun dalam hal ini terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya proses pengambilan makrozoobentos dan pengidentifikasian.
Penentuan kualitas perairan dengan menggunakan makrozoobentos dapat dilakukan dengan menghitung tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi serta dengan menggunakan model-model kelimpahan. Adapun untuk melihat keterkaitannya dengan faktor fisika-kimia perairan dapat dilakukan dengan pengujian secara regresi atau melalui analisa komponen utama. Sehingga makrozoobentos dapat digunakan sebagai indikator pencemaran.

Tidak ada komentar: