BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Lautan
telah lama dikenal sebagai salah satu ekosistem yang paling besar, paling
kompleks dan paling dinamis di dunia. Interaksi antara faktor fisik, kimia dan
biologi yang terjadi di lautan berlangsung sangat cepat dan terus menerus
sehingga amat menentukan kondisi ekosistem yang ada di lingkungan perairan
tersebut. Organisme yang ada harus mampu beradaptasi, baik secara morfologis maupun
fisiologis untuk dapat bertahan hidup. Selain menjadi habitat bagi organisme,
laut juga menjadi sumber bahan pangan, media transportasi, sumber bahan
tambang, sumber energi, sumber mineral dan obat-obatan yang sangat penting.
Adanya gangguan terhadap lautan dan ekosistemnya baik secara langsung ataupun
tidak langsung akan sangat berpengaruh terhadap kehidupan manusia. Beragamnya
aktifitas manusia menyebabkan sungai merupakan wilayah yang paling mudah
terkena dampak kegiatan manusia. Akibat lebih jauh adalah terjadinya
penurunan kualitas perairan di daerah tersebut, karena adanya masukan limbah
yang terus bertambah.
Makrozoobentos
mempunyai peranan yang sangat penting dalam siklus nutrien di dasar perairan.
Hewan bentos hidup relatif menetap, sehingga baik digunakan sebagai petunjuk
kualitas lingkungan, karena selalu kontak dengan limbah yang masuk ke
habitatnya. Kelompok hewan tersebut dapat lebih mencerminkan adanya
perubahan faktor-faktor lingkungan dari waktu ke waktu. karena hewan bentos
terus menerus terdedah oleh air yang kualitasnya berubah-ubah (Oey, et al1., 1978)
Keberadaan
hewan bentos pada suatu perairan, sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor
lingkungan, baik biotik maupun abiotik. Faktor biotik yang berpengaruh
diantaranya adalah produsen, yang merupakan salah satu sumber makanan bagi
hewan bentos.
1.2
Tujuan
Makalah
ini ditulis untuk memberikan gambaran tentang pemanfaatan dan potensi
makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan. Adapun hal-hal yang
dikemukakan meliputi pengertian makrozoobentos, faktor-faktor yang mempengaruhi
keberadaan makrozoobentos, pemanfaatan makrozoobentos sebagai indikator
kualitas perairan pesisir, dan spesies indikator.
1.3
Manfaat
Memberikan
rekomendasi dan wacana kepada mahasiswa tentang pentingnya makrozoobentos
sebagai indikator pencemaran.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
Salah
satu kelompok organisme penyusun ekosistem laut adalah bentos. Bentos istilah
berasal dari Yunani untuk “kedalaman laut”. Bentos adalah organisme yang hidup
di dasar laut dengan melekatkan diri pada substrat atau membenamkan diri di
dalam sedimen. Mereka tinggal di atau dekat sedimen laut lingkungan, dari kolam
pasang surut di sepanjang tepi pantai, ke benua rak, dan kemudian turun ke
kedalaman abyssal. Daerah terkaya akan jumlah dan macam organisme pada sistem
muara-laut ialah daerah bentik, yang terbentang dari pasang naik sampai suatu
kedalaman di tempat tanaman sudah jarang tumbuh.
Tubuh
bentos banyak mengandung mineral kapur. Batu-batu karang yang biasa kita lihat
di pantai merupakan sisa-sisa rumah atau kerangka bentos. Jika timbunannya
sangat banyak rumah-rumah binatang karang ini akan membentuk Gosong Karang,
yaitu dataran di pantai yang terdiri dari batu karang. Selain Gosong Karang ada
juga Atol, yaitu pulau karang yang berbentuk cincin atau bulan sabit.
Batu-batu
karang yang dihasilkan oleh bentos dapat dimanfaatkan untuk keperluan
penelitian, rekreasi, sebagai bahan bangunan dan lain-lain. Sedangkan zat kimia
yang terkandung dalam tubuh bentos bisa dimanfaatkan sebagai bahan untuk
pembuatan obat dan kosmetika.
Benthic
organisme, seperti bintang laut, kerang, kerang, teripang, bintang rapuh dan
anemon laut, memainkan peran penting sebagai sumber makanan bagi ikan dan
manusia.
Klasifikasi
benthos menurut ukurannya : Makrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran
lebih besar dari 1 mm (0.04 inch), contohnya cacing, pelecypod, anthozoa,
echinodermata, sponge, ascidian, and crustacea. Meiobenthos merupakan benthos
yang memiliki ukuran antara 0.1 – 1 mm, contohnya polychaete, pelecypoda,
copepoda, ostracoda, cumaceans, nematoda, turbellaria, dan foraminifera.
Mikrobenthos merupakan benthos yang memiliki ukuran lebih kecil dari 0.1 mm,
contohnya bacteri, diatom, ciliata, amoeba, dan flagellata.
Berdasarkan
morfologi dan cara makannya, bnethos dapat dikelompokkan menjadi empat, yaitu
(1) benthos pemakan deposit yang selektif (selective deposit feeders)
dengan bentuk morfologi mulut yang sempit; (2) benthos pemakan deposit yang
tidak selektif (non-selective deposit feeders) dengan bentuk morfologi
mulut yang lebar; (3) benthos pemakan alga (herbivorous feeders); dan
(4) benthos omnivora/predator (Heip et
al. 1985; Gwyther & Fairweather 2002).
Beberapa
jenis Bentos
Sumber
makanan utama bagi bentos adalah plankton dan organik air hujan dari daratan
(sungai). Aktivitas manusia di Daerah Aliran Sungai sangat erat kaitannya
dengan pemanfaatan air sungai di daerah pemukiman, industri, dan irigasi
pertanian. Bahan pencemar yang berasal baik dari aktifitas perkotaan
(domestik), industri, pertanian dan sebagainya yang terbawa bersama aliran
permukaan (run off), langsung ataupun tidak langsung akan menyebabkan
terjadinya gangguan dan perubahan kualitas fisik, kimia dan biologi pada
perairan sungai tersebut yang pada akhirnya menimbulkan pencemaran. Dimana
pencemaran pada badan air selalu berarti turunnya kualitas dan air sampai ke
tingkat tertentu akan menyebabkan air dan tidak dapat berfungsi lagi sesuai
dengan peruntukannya. Wilayah perairan merupakan media yang rentan terhadap
pencemaran.
Gaufin dalam Wilhm (1975) mengelompokkan spesies
makrozoobentos berdasarkan kepekaannya terhadap pencemaran karena bahan
organik, yaitu kelompok intoleran, fakultatif dan toleran. Organisme
intoleran yaitu organisme yang dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran
kondisi lingkungan yang sempit dan jarang dijumpai di perairan yang kaya
organik. Organisme ini tidak dapat beradaptasi bila kondisi perairan
mengalami penurunan kualitas. Organisme fakultatif yaitu organisme yang
dapat bertahan hidup pada kisaran kondisi ling-kungan yang lebih besar bila
dibandingkan dengan organisme intoleran. Walaupun organisme ini dapat
bertahan hidup di perairan yang banyak bahan organik, namun tidak dapat
mentolerir tekanan lingkungan. Organisme toleran yaitu organisme yang
dapat tumbuh dan berkembang dalam kisaran kondisi lingkungan yang luas, yaitu
organisme yang sering dijumpai di perairan yang berkualitas jelek. Pada
umumnya organisme tersebut tidak peka terhadap berbagai tekanan lingkungan dan
kelimpahannya dapat bertambah di perairan yang tercemar oleh bahan
organik. Jumlah organisme intoleran, fakultatif dan toleran dapat
menunjukkan derajat pencemaran.
Sumber
pencemar yang terdapat di sepanjang aliran antara lain : (1) Limbah Organik,
dapat bersumber dari limbah pasar, rumah tangga, restoran/rumah makan, industri
perkayuan dan sebagainya. (2) Limbah Anorganik (logam berat), dapat memberikan
kontribusi yang besar terhadap penurunan kualitas sumberdaya air seperti Cu,
Zn, Hg, Cd, Cr, Pb dan lain sebagainya. Polutan yang masuk ke perairan sungai
juga mengalami proses pengendapan pada sedimen dasar yang dapat bersifat
toksik. Sehingga berpotensi untuk mencemari sumber-sumber air yang ada bila
tidak dikelola secara bijaksana.
Penurunan
kualitas biologi pada perairan sungai akan mengakibatkan timbulnya berbagai
permasalahan seperti sanitasi dan kesehatan masyarakat di sekitar aliran sungai
semakin rendah. Buruknya sanitasi dapat menyebabkan timbulnya berbagai penyakit
infeksius seperti diare, dysentri, colera dan lain-lain. Penurunan kualitas
perairan sungai juga dapat menyebabkan kematian biota air seperti ikan dan
selanjutnya akan membawa dampak terhadap perekonomian masyarakat disekitar
sungai yang mempunyai mata pencaharian sebagai nelayan.
Penggunaan
makrozoobentos sebagai indikator kualitas perairan dinyatakan dalam bentuk
indeks biologi. Cara ini telah dikenal sejak abad ke 19 dengan pemikiran
bahwa terdapat kelompok organisme tertentu yang hidup di perairan
tercemar. Jenis-jenis organisme ini berbeda dengan jenis-jenis organisme
yang hidup di perairan tidak tercemar. Kemudian oleh para ahli biologi
perairan, penge-tahuan ini dikembangkan, sehingga perubahan struktur dan
komposisi organisme perairan karena berubahnya kondisi habitat dapat dijadikan
indikator kualitas per-airan (Abel, 1989; Rosenberg and Resh, 1993).
Spesies
indikator merupakan organisme yang dapat menunjukkan kondisi lingkungan secara
akurat, yang juga dikenal dengan bioindikator Tesky (2002). EPA (2002)
menyatakan bahwa sebagaimana di sistem perairan tawar, biota yang hidup di
perairan estuaria dan laut dapat menunjukkan kualitas perairan. Makrozoobentos
(seperti polychaeta) merupakan indikator yang baik untuk kualitas air
lingkungan laut karena respon mereka terhadap polutan dapat dibandingkan
terhadap sistem air tawar. Polychaeta dikenal sebagai organisme yang
sangat toleran terhadap tekanan lingkungan (seperti rendahnya kandungan
oksigen, kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah) sehingga mereka
digunakan sebagai indikator lingkungan yang tertekan.
Via-Norton,
A. Maher and D. Hoffman. (2002) berdasarkan kualitas perairan, khususnya
perairan tawar, dapat ditemukan spesies indikator sebagai berikut:
A.
Indikator untuk perairan yang berkualitas baik
1.
Kelas Serangga
Stonefly
Nymphs (Order Plecoptera)
Common Stonefly Nymph (Family Perlidae)
Roach-like Stonefly Nymph (Family
Peltoperlidae)
Slender Winter Stonefly Nymph (Family Capniidae)
Mayfly
Nymphs (Order Ephemeroptera)
Brush-Legged Mayfly Nymph (Family
Oligoneuridae)
Flatheaded Mayfly Nymph (Family
Heptageniidae)
Burrowing Mayfly Nymph (Family Ephemeridae)
Caddisfly
Larvae (Order Trichoptera)
Fingernet Caddis Larva (Family
Philopotamidae)
Case-Making Caddis Larva (various families)
Free-living Caddis Larva (Family
Ryacophilidae)
Water Penny (Order Coleoptera,
Family Psephenidae)
Riffle Beetle (Order Coleoptera,
Family Elmidae)
2.
Kelas lain
B.
Indikator untuk perairan berkualitas sedang (moderat)
1.
Kelas Seranga
Dragonfly Nymph (Order Odonata,
Suborder Anisoptera)
Alderfly Larvae (Order Megaloptera,
Family Sialidae)
Beetle
Larvae (Order Coleoptera)
Whirligig Beetle Larva (Family Gyrinidae)
2.
Kelas lain
C.
Indikator untuk perairan berkualitas buruk
1.
Kelas Serangga
Midge Larva (Order Diptera,
Family Chironomidae)
Blackfly Larva (Order Diptera,
Family Simulidae)
2.
Kelas lain
Pouch
Snail (Order Gastropoda, Family Physidae)
Aquatic Worm (Class Oligochaeta)
Adapun
untuk perairan pesisir, belum begitu banyak terungkap spesies-spesies yang
dapat dijadikan indikator kualitas perairan, kecuali beberapa informasi tentang
keberadaan polychaeta dan beberapa kelompok dari molluska yang menunjukkan
kondisi perairan yang berada dalam keadaan kandungan oksigen yang rendah,
kontaminasi organik di sedimen dan polusi sampah.
BAB
III
METODELOGI
Metode
kualitatif tertua untuk mendeteksi pencemaran secara biologis adalah sistem
saprobik (Warent, 1971) yaitu sistem zonasi pengkayaan bahan organik
berdasarkan spesies hewan dan tanaman spesifik. Hynes (1978) ber-pendapat
bahwa sistem saprobik mempunyai beberapa kelemahan, antara lain kurang peka terhadap
pengaruh buangan yang bersifat toksik. Tidak ditemukannya makrozoobentos
tertentu belum tentu dikarenakan adanya pencemaran organik, sebab mungkin
dikarenakan kondisi fisik perairan yang kurang mendukung kehidupannya atau
kemunculannya dikarenakan daur hidupnya (Hawkes, 1979).
Adanya
kelemahan sistem saprobik, maka untuk menilai kualitas perairan, secara
kuantitatif dilakukan metode pendekatan memakai model-model matematik.
Metode ini dikembangkan berdasarkan terjadinya perubahan struktur komunitas sebagai
akibat perubahan yang terjadi dalam kualitas lingkungan perairan karena
berlangsungnya pencemaran. Model yang umum digunakan adalah dengan
me-ngetahui indeks keragaman jenis, keseragaman populasi dan dominansi jenis
(Ma-gurran, 1988).
Keragaman
jenis disebut juga keheterogenan jenis, merupakan ciri yang unik untuk
menggambarkan struktur komunitas di dalam organisasi kehidupan. Suatu
komunitas dikatakan mempunyai keragaman jenis tinggi, jika kelimpahan
masing-masing jenis tinggi dan sebaliknya keragaman jenis rendah jika hanya
ter-dapat beberapa jenis yang melimpah.
Indeks
keragaman jenis (H’) menggambarkan keadaan populasi organisme secara matematis,
untuk mempermudah dalam menganalisa informasi-informasi jumlah individu
masing-masing jenis dalam suatu komunitas. Diantara Indeks ke-ragaman
jenis ini adalah Indeks keragaman Shannon – Wiener.
Perbandingan
antara keragaman dan keragaman maksimum dinyatakan se-bagai keseragaman
populasi, yang disimbulkan dengan huruf E. Nilai E ini berki-sar antara 0
– 1. Semakin kecil nilai E, semakin kecil pula keseragaman populasi,
artinya penyebaran jumlah individu setiap jenis tidak sama dan ada
kecenderungan satu spesies mendominasi, begitu pula sebaliknya semakin besar
nilai E maka tidak ada jenis yang mendominasi. Untuk melihat dominasi
suatu spesies digunakan indeks dominansi (C).
Berdasarkan
nilai indeks keragaman jenis zoobentos, yang dihitung berdasarkan formulasi
Shannon-Wiener, dapat ditentukan beberapa kualitas air. Wilhm (1975)
menyatakan bahwa air yang tercemar berat, indeks keragaman jenis zoobentosnya
kecil dari satu. Jika berkisar antara satu dan tiga, maka air tersebut
setengah tercemar. Air bersih, indeks keragaman zoobentosnya besar dari
tiga. Staub et
all. dalam Wilhm
(1975) menyatakan bahwa berdasarkan indeks keragaman zoobentos, kualitas air
dapat dikelompokkan atas: tercemar berat (0<H’<1), setengah tercemar
(1<H’<2), tercemar ringan (2<H’<3) dan tercemar sangat ringan
(3<H<4,5). Kisaran nilai H’ tersebut merupa-kan bagian dari
penilaian kualitas air yang dilakukan secara terpadu dengan faktor fisika kimia
air. Sedangkan Lee et
all. (1978) menyatakan bahwa
nilai indeks keragaman (H) pada perairan tercemar berat, kecil dari satu
(H<1), tercemar sedang (1,0 – 1,5), tercemar ringan (1,6 – 2,0), dan tidak
tercemar H besar dari dua (H>2,0).
Pengembangan
metode indeks diversitas dilakukan oleh Warent (1971) dan May (1975) dalamMagurran (1988), yaitu
menggunakan model distribusi kelimpahan jenis. Model distribusi
kelimpahan jenis ini pada dasarnya menggunakan parameter yang sama namun dalam
perhitungannya lebih bervariasi misalnya rangking spesies, kelimpahan
observasi, kelimpahan teoritis, dan uji kesesuaian model, sehingga model ini
lebih mendekati keadaan perairan sesungguhnya.
Model
distribusi kelimpahan spesies dapat menerangkan mekanisme pem-bagian dan
pemanfaatan sumber daya dalam komunitas (Magurran, 1988). Model-model
tersebut adalah: Model Geometrik, Model Log Normal dan Model Broken
Stick. Model Geometrik menggambarkan keadaan ekosistem perairan dimana
organisasi komunitas bersifat kompetitif dan mengalami gangguan, produktifitas
rendah, pembagian sumber daya dalam komunitas tidak merata (Southwood, 1978)
dan dalam tingkat suksesi awal atau lingkungan sangat terganggu (Magurran, 1988).
Model Log normal menggambarkan organisasi komunitas yang layak, pembagian
relung yang mantap atau merata, lingkungan perairan yang stabil sehingga
mencirikan suatu komunitas yang seimbang. Model Broken Stick
menggambarkan suatu komunitas yang stabil dan tidak ada kompetisi, pembagian
relung mengacak tanpa tumpang tindih dan lingkungan sangat stabil dan produktif
(Southwood, 1978).
Untuk
mendapatkan gambaran hubungan antara faktor fisika dan kimia dan struktur
komunitas makrozoobentos dilakukan dengan menggunakan analisis regresi.
Analisa lebih detail dapat dilakukan dengan “principle components
analysis”. Dari
gambaran ini diharapkan dapat diungkapkan jenis-jenis makrozoobentos yang
diduga dapat digunakan sebagai indikator kualitas perairan serta faktor fisika
kimia apa saja yang terutama mempengaruhi keberadaan makrozoobentos di perairan
tersebut.
Hellawel
(1986); Rosenberg and Wiens (1989) dalam Rosenberg dan Resh (1993) menyatakan
bahwa karakteristik ideal dari jenis organisme indikator adalah: a). mudah
diidentifikasi, b). tersebar secara kosmopolit, c). kelimpahan
dapat dihitung, d). Variabilitas ekologi dan genetik rendah, e).
ukuran tubuh relatif besar, f). mobilitas terbatas dan masa hidup relatif
lama, g). karakteristik ekologi diketahui dengan baik, dan h).
terintegrasi dengan kondisi lingkungan serta i). cocok untuk digunakan
pada studi laboratorium. Rondo (1982) mengemukakan bahwa suatu takson
dapat dikatakan indikator, jika takson tersebut berstatus ekslusif dengan fekuensi
kehadiran minimal 50%, karakteristik dengan frekuensi kehadiran 50%, dan
predominan. Suatu takson dikatakan predominan ji-ka kepadatan relatifnya
minimal 10%.
Beberapa
organisme makrozoobentos sering dipakai sebagai spesies indikator kandungan
bahan organik, dan dapat memberikan gambaran yang lebih tepat dibandingkan
pengujian secara fisika-kimia (Hynes, 1978). Kelebihan penggunaan
makrozoobentos sebagai indikator pencemaran organik adalah karena jumlahnya
relatif banyak, mudah ditemukan, mudah dikoleksi dan diidentifikasikan,
bersifat immobile, dan memberikan tanggapan yang berbeda terhadap kandungan
bahan organik (Abel, 1989; Hellawel, 1986 dalam Rosenberg dan Resh, 1993).
Kelemahannya adalah karena sebarannya mengelompok dan dipengaruhi oleh faktor
hidrologi seperti arus, dan kondisi substrat dasar (Hawkes, 1978).
BAB
IV
HASIL
DAN PEMBAHASAN
Masing-masing
bentik memiliki kisaran toleransi tertentu terhadap kondisi ekologi sejalan
dengan seberapa jauh keberhasilannya mengembangkan mekanisme adaptasi. Hal
tersebut memungkinkan faktor-faktor ekologik mengatur komposisi dan ukuran
komunitas bentik. Dalam menghadapi perubahan kondisi lingkungan di habitatnya,
bentik telah mengembangkan berbagai bentuk adaptasi morfologi. Adaptasi
morfologi yang dimaksud adalah adaptasi ukuran tubuh, adaptasi bentuk tubuh,
penyederhanaan organ dan memperkuat dinding tubuh serta mengembangkan alat
pelekat. Semua organisme bentik berukuran sangat kecil. Adaptasi yang sangat
nyata terhadap lingkungan dinamis adalah ukuran dan bentuk tubuh. Ukuran tubuh
bentik berkisar 0.63–1 mm (63–1.000 µm). Kebanyakan organisme bentik mempunyai
bentuk tubuh memanjang atau seperti plat, dan ada juga berbentuk silinder.
Umumnya bentik melakukan pelangsingan tubuh dan meningkatkan fleksibilitas
tubuh. Bentuk tubuh seperti flat, organisme bentik dapat melekatkan dirinya
pada ruang yang sempit pada butiran sedimen. Adaptasi ini agar bentik dapat
tetap tinggal dalam ruang sedimen yang sempit, sehingga terbebas dari pengaruh
selama proses suspensi kembali (resuspensi) ke atas. Dalam lingkungan sedimen
yang gelap, bentik melakukan adaptasi dengan mereduksi mata dan pigmen tubuhnya
(Webber & Thurman, 1999).
Kehadiran
bentik dalam suatu ekosistem dapat mempengaruhi struktur komunitas makrofauna
secara nyata. Bentik yang berasosiasi dengan ekosistem tersebut memiliki
peranan yang amat penting, yaitu sebagai salah satu mata rantai penghubung
dalam aliran energi dan siklus materi dari alga planktonik sampai konsumen
tingkat tinggi, dan memberikan kontribusi dalam menopang kehidupan organisme
trofik yang lebih tinggi seperti kepiting, ikan dan udang. Terkait dengan
responnya terhadap lingkungan, bentik mempunyai kepekaan terhadap
perubahan-perubahan yang terjadi terhadap lingkungannya, sehingga jenis
tertentu dari bentik, seperti Nematoda dan Copepoda sering digunakan sebagai
indikator dalam menyatakan kelimpahan bahan organik. Perbandingan Nematoda dan
Copepoda (rasio N/C) dapat digunakan sebagai alat biomonitoring pencemaran
organik dalam komunitas bentik. Pengaruh utama akumulasi bahan organik adalah
pengurangan kandungan oksigen dalam sedimen dan selanjutnya menstimulasi
pembentukan lapisan hidrogen sulfida (Odum, 1993).
Keuntungan
menggunakan bentik untuk studi pencemaran adalah:
1) Biasanya bentik mempunyai kemampuan untuk bertambah dalam lingkungan bentik yang terganggu/tercemar, tidak seperti makrofauna;
2) Umumnya bentik mempunyai siklus hidup yang pendek (sekitar 30–40 hari), menghasilkan generasi dalam setahun, organisme yang terekspos tahan terhadap toksikan dan siklus hidupnya lebih komplit;
3) Ukuran bentik yang kecil dapat diberikan untuk ukuran sampel yang kecil pula;
4) Komunitas bentik sifatnya lebih stabil, baik kualitas maupun kuantitasnya terhadap musim dan dari tahun ke tahun daripada makrofauna.
komunitas merupakan kumpulan beberapa populasi pada ruang dan waktu yang sama. Didalam komunitas digunakan beberapa pendekatan yaitu:
pendekatan struktural yang bersifat kuantitatif. Kekayaan spesies yaitu dengan adanya keragaman spesies.
1) Biasanya bentik mempunyai kemampuan untuk bertambah dalam lingkungan bentik yang terganggu/tercemar, tidak seperti makrofauna;
2) Umumnya bentik mempunyai siklus hidup yang pendek (sekitar 30–40 hari), menghasilkan generasi dalam setahun, organisme yang terekspos tahan terhadap toksikan dan siklus hidupnya lebih komplit;
3) Ukuran bentik yang kecil dapat diberikan untuk ukuran sampel yang kecil pula;
4) Komunitas bentik sifatnya lebih stabil, baik kualitas maupun kuantitasnya terhadap musim dan dari tahun ke tahun daripada makrofauna.
komunitas merupakan kumpulan beberapa populasi pada ruang dan waktu yang sama. Didalam komunitas digunakan beberapa pendekatan yaitu:
pendekatan struktural yang bersifat kuantitatif. Kekayaan spesies yaitu dengan adanya keragaman spesies.
BAB V
KESIMPULAN
Sebagai
organisme yang hidupnya cenderung menetap di dasar perairan, maka pemanfaatan
makrozoobentos untuk mengetahui kualitas perairan, akan dapat memberikan
gambaran kondisi perairan yang lebih tepat. Namun dalam hal ini terdapat
beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya proses pengambilan
makrozoobentos dan pengidentifikasian.
Penentuan
kualitas perairan dengan menggunakan makrozoobentos dapat dilakukan dengan
menghitung tingkat keanekaragaman, keseragaman dan dominansi serta dengan
menggunakan model-model kelimpahan. Adapun untuk melihat keterkaitannya dengan
faktor fisika-kimia perairan dapat dilakukan dengan pengujian secara regresi
atau melalui analisa komponen utama. Sehingga makrozoobentos dapat digunakan
sebagai indikator pencemaran.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar